Perang siber saat ini sebenarnya masih malu – malu kucing, karena tidak ada satupun negara di dunia ini yang secara terang – terangan menyatakan secara terbuka untuk melakukan perang dengan negara tertentu. Jadi sementara ini semua berjalan dalam kontek operasi – operasi rahasia, dimana saat ketahuan bisa saling sanggah. Memang benar juga karena faktanya pelaku serangan siber ini tidak selalu negara atau badan – badan resmi negara, sebab ada juga yang dilakukan oleh individu – individu sesuai tujuan dan kepentingan masing – masing. Sebagai contoh saat SEA Games 2017 di Malaysia, dimana ada cetakan bendera Indonesia tercetak dengan warna yang terbalik. Lalu ada WNI yang merasa tersinggung dan melakukan serangan terhadap 27 situs di negara Malaysia. Dalam hal ini negara tidak tahu apa – apa tentang apa yang dilakukan oleh warganya, dan tentu banyak contoh lain kejadian di beberapa negara lainnya.
Cyber Army bagi beberapa negara dipandang sebagai suatu keharusan dalam menghadapi cyber warfare. Kejadiannya bisa terjadi kapan saja dan tanpa membutuhkan alasan, karena pelaku bisa sebagai state actor dan non state actor. Pembentukan cyber army saat ini telah menjadi bagian integral dari strategi militer secara keseluruhan, sehingga menuntut belanja atau investasi dalam nominal yang cukup besar agar negara memiliki sistem ketahanan siber yang kuat dan dengan prioritas (1) Mencegah serangan cyber terhadap infrastruktur vital, (2) Mengurangi kerentanan nasional terhadap serangan cyber, dan (3) Minimalkan waktu kerusakan dan pemulihan dari serangan siber.