Kelanjutan Ijazah Palsu STT Setia, Potensi Papua dan Praperadilan Yang Dianggap Langkah ‘Suntuk’

oleh
oleh
(Kiri-kanan) Kuasa hukum pelapor, Sabar Ompo Sunggu; Ketua Barisan Merah Putih, Willem Frans Ansyanay, S.H; Perwakilan Korban, Yustimor. (dok. sketsindonews.com)

Hanya dalam kasus ini dia melihat bahwa masing-masing pihak memiliki penafsiran, namun dia meyakini bahwa keputusan jaksa dan hakim yang memutuskan akan lebih berpegang pada KUHAP.

Potensi di Papua

Lebih jauh, Frans juga memaparkan bahwa kasus-kasus yang berkembang di Papua itu selalu menjadi akumulasi menumpuk yang suatu ketika akan meledak dan mejadikan persoalan kebangsaan.

“Jadi hari ini banyak kasus di Papua yang tidak memberikan rasa nyaman bagi orang asli Papua dan kasus Ijazah PGSD bodong turut menyumbangkan aksi-aksi disintegrasi di Papua. Ijazah PGSD bodong adalah salah satu bagian masalah dari begitu banyaknya masalah yang ada di Papua yang menyebabkan orang Asli Papua hanya menjadi korban kesewenangan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.

Dia mengatakan bahwa sejak awal sudah mengingatkan agar jangan sampai kasus Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STT Setia ini menjadi satu bagian dari akumulasi persoalan bangsa di Papua.

“Mengapa demikian, karena mereka beranggapan bahwa warga Papua ini kemungkinan menurut saya warga kelas 3 kelas 4 jadi ga masalah dikasih ijazah yang tidak punya status izin baik dan di anggap itu sudah selesai masalahnya kan juga tidak demikian,” katanya.

Dia menambahkan, “Jadi kalau hari ini ada akumulasi orang Papua hanya karena persoalan sepele meledak mala seluruh pesoalan di Papua termasuk Ijazah PGSD adalah bagian yang tidak terpisahkan, karena itu di Nabire, di pegunungan, di pantai diseluruh tanah papua sebagian besar mereka berteriak. ‘Apa yang mau di harapkan dari negara ini?, kira-kira itu yang digambarkan dari teriakan mereka.”

Kalau PGSD ini adalah upaya perorangan untuk mencoba mengambil peran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tapi tidak melaksanakan sesuai aturan dan menganggap sudah benar menurut dirinya, Frans menegaskan bahwa faktanya korban tidak menerima hasil yang baik dari proses pendidikan lewat Prodi pendidikan yang kemudian ijazahnya tidak diakui.

“Jadi menurut saya ini bagian dari akumulasi semua masalah termasuk ijazah PGSD sehingga jangan juga merendahkan orang Papua sehingga di anggap sudah selesai memberikan ijazah PGSD padahal ada resiko hukum yang terjadi, nah mereka menuntut keadilan,” tegas Frans.

Untuk itu, keputusan hakim akan menyelamatkan segala sesuatu yang ada di Papua, termasuk ijazah PGSD.

“Jadi mereka sudah terjawab begitu di vonis 7 tahun di tolak kasasinya mereka sudah puas, itu sudah mereka merasa keadilan dan mereka masih memuntut untuk gugatan perdata ya kita jalankan terus permintaan mereka, supaya kita tunjukkan bahwa orang di Papua sana diperlakulan adil seadil-adilnya,” pungkas Frans.

(Eky)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.