Ayat (2) tersebut jelas limitatif, hanya digunakan untuk 3 hal saja yaitu pembiayaan layanan jaminan sosial bagi peserta JKN, dan pembayaran manfaat untuk peserta BP Jamsostek. Dalam hal pembiayaan pelayanan jaminan sosial tidak ada segmentasi jenis peserta, sebagaimana prinsip SJSN non diskrimitatif. Yang kedua untuk dana operasional penyelenggaraan, dan ketiga investasi. Khusus investasi lebih diutamakan pada BP Jamsostek, karena mengutamakan solvabilitas, sedangkan BPJS Kesehatan mengutamakan liquiditas karena untuk membayar pelayanan di faskes.
Jika kita cermati hasil FGD tersebut, lebih bersifat basa basi politik, sebab jelas yang dibicarakan yang melanggar UU. UU tidak bisa dianulir dengan diskresi, atau juga dengan Perpres, UU hanya bisa “dianulir” Presiden dengan menerbitkan Perppu. Dengan syarat adanya keadaan yang mendesak dan genting. Disamping itu sejauh mana keputusan FGD mengikat, sedangkan keputusan Raker lintas Komisi tidak dapat dilaksanakan.
Pertanyaan mendasarnya apakah yang diperjuangkan benar benar kepentingan rakyat miskin atau ada kepentingan politik DPR. Dari sisi Pemerintah sebenarnya sudah jelas kebijakannya, yaitu mereka yang terdata fakir miskin dan tidak mampu iurannya dibayarkan oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah), jumlahnya sangat besar 133 juta peserta, sekitar 60% dari total peserta.
Kalau DPR benar-benar membela kepentingan rakyat, yang perlu dilakukan adalah mensupervisi kementerian terkait yang menangani pendataan orang miskin apakah datanya sudah akurat, tidak ada inclusion error, dan exclusion error. Jika data sudah akurat, maka persoalan peserta mandiri kelas III yang dikatakan para anggota DPR diduga orang miskin, dapat otomatis masuk PBI, demikian juga sebaliknya, bagi yang mampu tetapi ngumpet masuk ke dalam PBI, harus ditarik dan dikeluarkan, silahkan menjadi peserta mandiri sesuai dengan kemampuannya, apakah di kelas III,II dan I. Itu namanya menyelesaikan masalah pada akar masalahnya.
Yang diperjuangkan DPR saat ini yang tidak kunjung selesai adalah memaksa 19 juta peserta mandiri kelas III agar iurannya tidak dinaikkan. Selisih kenaikan kelas III dibayarkan dari iuran PBI yang sudah dinaikkan pemerintah. Menurut Menkes dari kenaikan iuran PBI itu ada surplus. Bagaimana dasar hitungannya tidak jelas. Apa landasan UU nya tidak ada.
Berdasarkan laporan BPJS Kesehatan klaim ratio PBI sudah 105%. Belum lagi mereka peserta mandiri yang migrasi ke kelas III dari kelas II dan I, sudah mencapai 800 ribu peserta. Apakah DPR sudah punya data yang akurat bahwa 19 juta peserta mandiri kelas III adalah miskin semua, sebagian besar atau sebagian kecil. Soal ini tidak pernah dibicarakan secara tuntas. Seharusnya dibicarakan bersama dengan Komisi VIII DPR yang membidangi Sektor Sosial ( Kemensos), tempat basis data terpadu Kessos berada.
Karena Menkes sudah menyerah, BPJS Kesehatan masih bertahan, Menko PMK dan Menkeu tetap berpegang dengan Perpres 75/2019, DPR Komisi IX terus menekan dan menyerang bahkan sudah melibatkan Kepolisian dan Kejaksaan Agung serta BPK, sudah saatnya Presiden Jokowi harus turun tangan. Lakukan informal meeting dengan Pimpinan DPR ditempat yang tenang di Istana Bogor. Mudah-mudahan ada solusi yang bijak, rasional, dan mengedepankan keberlanjutan Jaminan Sosial sebagaimana di amanatkan dalam Konstitusi Republik Indonesia, UU SJSN dan UU BPJS.
Cibubur, 1 Februari 2020