Kita semua menyadari situasi kemajemukan bangsa juga bisa melahirkan kemajemukan pemikiran, dan dalam negara yang demokratis seperti Indonesia hal ini memang dibenarkan dan dijamin dalam undang-undang. Namun tentu kita semua juga sepakat bahwa hasutan atau ujaran kebencian yang menimbulkan perpecahan tidak termasuk dari kebebasan berpendapat yang dijamin didalamnya ini.
Benarkah demikian ?
Sebagai kilas balik, Berbagai negara besar yang mayarakatnya majemuk sudah pecah menjadi beberapa negara kecil karena ketidakmampuan pemerintah-nya dalam menjembatani perbedaan diantara masyarakatnya yang majemuk. Memang, seperti yang lumrah terjadi dalam setiap kontestasi perebutan kekuasaan, selalu saja ada oknum yang nekat menggunakan isu perbedaan kemajemukan identitas dalam kompetisi politik untuk meraup suara pemilih karena menyadari ketidakmampuannya dalam berkompetisi ide secara profesional melalui visi dan misi yang ditawarkannya. Sedangkan harus diakui juga bahwa saat ini masih ada sebagian masyarakat kita yang masih awam atau bahkan tidak memahami politik sama sekali. Masih ada yang mudah terpengaruh sentimental primordialisme emosional semata. Apapun makannya yang penting minumnya teh botol……. (seperti motto iklan produk tetentu).
Disinilah tantangannya, selama stereotif primordialisme seperti ini belum mampu dinetralisir secara bijak maka selama itu pula politik identitas masih laku dimanfaatkan.