“Pertama, pengakuan klien kami yang turut serta jadi peserta kongres Demokrat tahun 2020 mengatakan bahwa AD ART yang didaftarkan ke Kemenkumham adalah AD ART siluman. Peserta Kongres tidak pernah membahas dan menyetujui AD ART Partai Demokrat tahun 2020 itu. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Partai Politik No. 8 Tahun 2008, Pasal 5 Ayat 2 yang menjelaskan bahwa Perubahan AD ART harus dilakukan di forum tertinggi partai. Forum tertinggi di Partai Demokrat adalah Kongres atau Kongres Luar Biasa,” paparnya usai sidang, Rabu (14/7/21).
Selanjutnya, kedua AD/ART siluman tersebut memanipulasi pendiri Partai Demokrat dari 99 orang menjadi 2 orang. Memasukkan nama SBY sebagai pendiri partai padahal SBY bukan pendiri partai sebagaimana tertulis di Akta Pendirian Partai. AD ART siluman itu juga memuat kewenangan Majelis Tinggi dan Mahkamah Partai yang melanggar ketentuan UU.
“Demokrasi di partai dikooptasi Ketua Majelis Tinggi (SBY sebagai Bapak) dengan Ketua Umum (AHY sebagai anak), dimana semua kewenangan di partai hanya berbagi antara bapak dan anak saja. SBY dan AHY membangun tirani dalam Partai Demokrat. Hal tersebut tidak hanya mengangkangi UU, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi pembangunan dan penegakkan demokrasi dan cita cita reformasi di Indonesia,” ujarnya.
Ajrin Duwila mewakili penggugat melanjutkan point ketiga, menjelaskan bahwa ketika AD/ART tahun 2020 itu akan didaftarkan ke Menkumham, keberadaan Mahkamah partai sudah demisioner. Namun kubu SBY dan AHY diduga melakukan manipulasi data sebagai syarat untuk pendaftaran ke Kemenkumham.