Kenapa ada seorang satu keluarga “bunuh diri” akibat utang pinjol? Kenapa pula ada orang yang bersikap arogan dan merendahkan orang lain? Atau kenapa kita masih suka berpikir buruk tentang orang lain yang mungkin kita tidak mengenal sepenuhnya? Semua itu terjadi karena kita kurang membaca. Tidak mau membaca atau hanya gemar memperdebatkan seputar isi bacaan. Membaca, akhirnya jauh panggang dari api.
Masih kata Joyce Carol Oates, membaca kian menarik karena mampu menjadi jembatan atau penghubung seseorang lebih punya empati. Sebuah sikap penting untuk memahami dan menghargai perasaan dan pengalaman orang lain. Mau memahami apa yang dirasakan orang lain, berupaya melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, bahkan mampu memahami latar belakang, pengalaman, dan nilai-nilai yang dimiliki orang lain. Sikap empati itu sangat penting, untuk meredam egoisme, arogansi, dan perilaku subjektif yang menyelimuti banyak orang.
Harus diakui, saat kita membaca. Secara sengaja atau tidak, kita sering terbawa oleh alur cerita atau argumen dalam teks bacaan yang mungkin bertentangan dengan pandangan kita sendiri. Tidak setuju atas isi bacaan, ada rasa untuk menikah teks bacaan. Tapi justru di situ, terjadi dialog batin antara diri kita dengan penulianya. Tentang perbedaan sudut pandang, berbeda pemikiran. Ketika kondisi bernada itu terjadi, maka di situlah kita menemukan kebijaksanaan yang hakiki. Bahwa setiap orang memiliki kisah yang layak dipahami. Selalu ada cerita yang berbeda dan kita diminta untuk mengerti. Ada empati terhadap kisah siapapun.
Mungkin hari ini, banyak orang tidak lagi suka membaca. Karena membaca dianggap beban, membaca dianggap buang-buang waktu. Selain membosankan, membaca sering dituding tidak realistis. Banyak teks bacaan yang berbeda dengan realitas kehidupan. Kita sering lupa, justru di situ nikmatnya membaca. Membaca sesuatu yang ada di buku tapi nyatanya berneda dengan kisah nyata kehidupan. Lagi-lagi, batin kita sebagai pembaca dituntut untuk berdialog dan mengartikan semuanya.