“Secara kelembagaaan Perguruan Tinggi terbagi menjadi dua kategori. Pertama Perguruan Tinggi Negeri (PTN), merupakan organ pemerintah baik itu langsung maupun berstatus PTN-BH, tidak mungkin organ pemerintah melakukan usaha (pertambangan) ini. Kedua Perguruan Tinggi Swasta (PTS), bentuknya berupa Yayasan atau Perkumpulan yang sifatnya sama-sama nirlaba tidak untuk mencari keuntungan dan secara kelembagaan, tidak cocok dan tidak sesuai untuk badan usaha,” jelasnya.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menyoroti pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada UMKM. Justru menurutnya, kondisi ini menguntungkan para oligarki, dengan memberikan modal ke sejumlah UMKM atau koperasi. Para oligarki memanfaatkan UMKM, sebab lebih menguntungkan dengan IUP prioritas tak perlu ikut lelang, bahkan memungkinkan banyak mendapatkan insentif keringanan pajak.
Adapun keterlibatan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan tambang, menurut Aryanto, seharusnya Perguruan Tinggi membuat laboratorium riset dengan hak paten teknologi.
“Tugas kampus itu ya bikin laboratorium, menghasilkan hak paten teknologi untuk mendukung industri, itulah core kampus dalam bentuk penelitian. Jadi jika bicara hirilisasi atau transisi energi, silahkan investor datang ke Indonesia tapi untuk teknologinya kita siapkan lewat laboratorium Perguruan Tinggi. Jadi kampus tidak perlu ikut tambang, dia tetap mendapatkan duit selagi industri pertambangan menggunakan paten, itulah kampus yang sehat,” ujarnya.
Juru Kampanye Jaringan Advokat Tambang (JATAM), Alfarhat Kasman, menekankan pentingnya moral of force dalam pengawasan pertambangan, sebab seringkali terjadi pelanggaran HAM dan perampasan ruang hidup masyarakat.