“Perusahaan menghadapi risiko denda administratif dan sanksi pidana atas pelanggaran izin, yang berpotensi mengganggu rantai pasok dan bahkan menyebabkan PHK massal,” ujarnya.
Lebih lanjut, Muller menjelaskan bahwa Perpres No.5 diterbitkan karena tim satgas sebelumnya tidak mampu menyelesaikan masalah penguasaan kawasan hutan secara optimal meskipun sudah berjalan empat tahun sejak UU Cipta Kerja berlaku.
Dari perspektif media, Rajab Ritonga, Praktisi Media, menekankan pentingnya pemberitaan yang akurat dan berimbang terkait kebijakan ini. “Jurnalis harus mengedepankan fakta, melakukan verifikasi, dan tetap netral. Sementara bagi pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, mereka dapat menggunakan hak jawab atau membawa kasus ke Dewan Pers,” jelasnya.
FGD ini menjadi wadah diskusi penting bagi berbagai pihak dalam memahami Perpres No.5 Tahun 2025 serta dampaknya terhadap industri kehutanan dan kelapa sawit. Harapannya, kebijakan ini dapat mendukung keberlanjutan sektor tersebut tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan kepastian hukum.