Ia menyebut Komisi Informasi adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan apakah suatu informasi bersifat terbuka atau termasuk informasi yang dikecualikan.
“Pemerintah boleh menetapkan informasi sebagai informasi yang dikecualikan, tapi hanya Komisi Informasi yang berwenang menentukan apakah pengecualian itu sah atau tidak,” lanjutnya.
Agus juga memaparkan alur sengketa informasi publik, dimulai dari permohonan informasi ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Jika tidak direspons atau ditolak, pemohon dapat mengajukan keberatan kepada atasan PPID. Bila tidak ada penyelesaian, maka sengketa dapat diajukan ke Komisi Informasi.
“Jadi, tahapannya jelas. Ketika teman-teman mengakses informasi publik lalu tidak dilayani atau ditolak, bisa melakukan keberatan kepada atasan PPID. Jika masih tidak puas, barulah bisa disengketakan di Komisi Informasi,” tegasnya.
Agus juga menuturkan bahwa PPID memiliki peran strategis dalam pengelolaan informasi publik di setiap badan publik.
“Fungsi PPID memang mirip dengan humas, tapi jauh lebih luas. PPID bukan hanya soal citra atau komunikasi, tapi juga mengelola, mengklasifikasikan, dan bahkan menentukan informasi apa yang bisa diakses publik dan mana yang dikecualikan,” jelasnya.
Dengan pemahaman ini, Agus berharap para mahasiswa dan peserta seminar dapat memahami secara utuh bagaimana hak atas informasi publik dapat diakses dan dilindungi melalui mekanisme yang telah diatur oleh undang-undang.
Seminar Keterbukaan Informasi Publik menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Komisioner KI DKI Jakarta Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Publik Agus Wijayanto Nugroho, Praktisi Keterbukaan Informasi Publik Nani Nurani Muksin, dan Akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, dengan Siti Muslihcatul bertindak sebagai moderator.