Indikatornya tampak jelas. Banyak diskursus publik yang dibangun tanpa nalar sehat. Kebijakan diperdebatkan bukan berdasarkan data dan analisis, melainkan berdasarkan siapa yang menyuarakan. Di ruang digital, ujaran kebencian dan konspirasi lebih cepat viral daripada edukasi dan klarifikasi.
Logika publik dikacaukan oleh echo chamber, confirmation bias, dan post-trut semua itu adalah tanda krisis logika yang nyata.
Tak heran bila generasi muda pun semakin sulit membedakan mana opini, mana fakta; mana kritik konstruktif, mana sekadar nyinyir. Kegagalan pendidikan kritis di berbagai level turut memperparah situasi ini.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan pemulihan budaya logis, yang dimulai dari hal-hal kecil seperti:
• Mengedukasi anak muda tentang pentingnya berpikir kritis dan tidak menelan mentah-mentah informasi.
• Membiasakan diri untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana” sebelum mengambil sikap.
• Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan dasar logis, bukan sekadar emosional.
• Memisahkan antara loyalitas dan kebenaran, karena tidak semua yang kita dukung selalu benar.
Logika bukan berarti kaku atau tidak berperasaan. Justru logika membantu kita menjaga akal sehat di tengah kompleksitas dunia modern. Di tengah derasnya informasi dan polarisasi sosial, logika adalah jangkar yang akan menyelamatkan kita dari gelombang kebingungan.