R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal mafia pangan yang memanipulasi kehidupan rakyat melalui beras adalah alarm serius bagi seluruh pemangku kebijakan. Data resmi menunjukkan 92 persen stok beras nasional dikuasai swasta. Sementara pemerintah melalui Bulog hanya mengendalikan sekitar 8 persen atau 4 juta ton dari total produksi. Ketimpangan ini jelas membuat langkah intervensi pemerintah menjadi terbatas.
Menurut Haidar Alwi, membongkar mafia pangan tidak cukup mengandalkan Presiden atau Bulog semata. Semua kementerian dan lembaga terkait harus terlibat. Kementan menjaga produksi dari hulu, Kemendag mengatur distribusi dan impor, Kementerian BUMN memperkuat Bulog, Kemenkeu menyiapkan anggaran, Kemenko Perekonomian mengoordinasi strategi lintas sektor, Kemendagri mengawal stabilitas di daerah, dan Bapanas bertugas sebagai komando utama cadangan serta distribusi pangan.
“Kalau semua bergerak serentak, mafia pangan akan kehilangan ruang, termasuk bagi oknum pejabat atau oknum aparat yang mencoba bermain di balik kebijakan,” jelas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menegaskan, mafia pangan sering bersembunyi di balik dominasi pasar. Mereka tidak hanya dari kalangan pengusaha besar, tetapi juga kerap beririsan dengan oknum pejabat maupun oknum aparat. Praktik manipulasi data panen, izin impor yang diperdagangkan, hingga kebocoran stok Bulog ke tangan swasta menjadi pola klasik yang berulang.
“Jika Presiden Prabowo sudah menyoroti langsung, berarti ini bukan isu kecil. Mafia pangan adalah ancaman serius bagi kedaulatan bangsa,” tegas Haidar Alwi.