Ia memadukan penguasaan teks konstitusi yang mendalam dengan pengalaman praktis di gelanggang politik dan pemerintahan. Berakar kuat di tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama, reputasinya sebagai ulama-cendekiawan menjadikan buku ini lahir dari refleksi panjang seorang negarawan.
Guru besar UIN Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, didaulat menyampaikan testimoni. Menurut Tholabi, buku ini hadir di saat yang sangat tepat, ketika bangsa tengah diuji oleh tantangan besar dalam kehidupan bernegara. “Hari ini kita menghadapi menguatnya intoleransi, mengerasnya politik identitas, dan bahkan ancaman oligarki. Dalam konteks itu, karya Prof. Ali Masykur adalah pengingat penting bahwa konstitusi harus kembali ditempatkan sebagai pedoman moral dan arah demokrasi kita,” ujarnya.
Menurut Tholabi, keistimewaan buku ini bukan hanya karena ketajaman analisisnya terhadap pasal-pasal UUD 1945, melainkan juga keberanian penulis menghidupkan konstitusi dengan pendekatan syarah. “Kata ‘syarah’ di sini bermakna penting. Dalam tradisi Islam, syarah adalah upaya penjelasan mendalam terhadap teks. Prof. Ali Masykur menempatkan UUD 1945 seperti kitab bangsa yang perlu ditafsirkan dengan nurani, bukan sekadar dibaca pasal demi pasal,” ungkap Tholabi.
Ia juga menekankan bahwa buku ini menghadirkan wajah konstitusi yang lebih humanis. “Biasanya, buku hukum tata negara disajikan secara kaku. Tetapi, melalui pendekatan syarah, kita diajak menyelami makna konstitusi dengan perspektif moral, agama, dan kemanusiaan.





