“Ini bukti bahwa teknologi bisa memperbesar kapasitas domestik,” ujar Capt. Hakeng. Menurutnya, Indonesia perlu meniru pendekatan riset di Jepang yang menekankan pengembangan hatchery untuk pembiakan buatan. Dengan teknologi tersebut, tekanan terhadap populasi benih di alam dapat berkurang drastis dan rantai produksi lobster nasional bisa lebih mandiri. Namun kebijakan ini tidak terlepas dari dampak sosial. Ribuan nelayan pesisir selama ini menggantungkan hidup dari menangkap benih lobster.
“Kalau nelayan tidak diberi jalan keluar, mereka akan kembali ke jalur ilegal,” kata Capt. Hakeng. Ia mendorong pemerintah menyediakan skema transisi yang adil, antara lain pelatihan keterampilan budidaya, akses permodalan, hingga insentif produksi. Bagi Capt. Hakeng, hal itu bukan semata soal ekonomi, melainkan juga soal keadilan sosial. “Nelayan kecil harus jadi bagian dari perubahan, bukan korban,” ujarnya seraya menjelaskan bahwa pengalaman negara lain dapat menjadi cermin penting. Antara lain Jepang fokus pada riset hatchery yang memutus ketergantungan pada benih alam.
Kita bisa juga mengadopsi cara Australia, dimana mereka menerapkan kuota tangkap dengan pengawasan ketat, bahkan menutup wilayah tangkap jika stok menipis. Vietnam memang berhasil membangun industri besar, tetapi kelemahannya adalah ketergantungan penuh pada pasokan benih impor. “Dari sini kita belajar bahwa kunci ada pada riset, regulasi disiplin, dan kemandirian pasokan,” jelas Capt. Hakeng.
Capt. Hakeng juga menilai bahwa kebijakan moratorium pun berimplikasi pada hubungan internasional, khususnya dengan Vietnam. Selama ini, Vietnam menjadi salah satu importir utama benih dari Indonesia. Dengan ditutupnya keran ekspor, industri mereka berpotensi terganggu. “Diplomasi ekonomi harus berjalan beriringan,” ujar Capt. Hakeng. Ia menyarakan agar pemerintah bisa membuka peluang investasi bagi pihak asing untuk ikut serta dalam budidaya di Indonesia, alih-alih hanya membeli benih. Dengan begitu, nilai tambah tetap berada di dalam negeri, sementara kerja sama regional tetap terjaga.
Capt. Hakeng menekankan bahwa moratorium ini adalah simbol nasionalisme maritim. “Ini bukan sekadar soal lobster, melainkan kedaulatan bangsa. Laut kita harus kembali untuk rakyat, sesuai sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” jelas Hakeng. Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri, bukan sekadar penyedia bahan mentah bagi industri negara lain. “Moratorium ini adalah ujian apakah kita benar-benar berdaulat di laut,” katanya.