Dalam konteks pemberantasan korupsi, Saurip menekankan perlunya langkah radikal, yaitu dengan UU Perampasan Aset yang di dalamnya harus menyertakan hukum pembuktian terbalik. “Bila tidak, UU Perampasan Aset akan dijadikan alat pemerasan oleh oknum penguasa. Kalau mau serius perang melawan korupsi, gampang. Terapkan pembuktian terbalik. Tetapi harus jelas, jangan sampai pemerintah bersekongkol dengan pemilik aset di luar negeri. Perampasan tanpa putusan pengadilan itu berbahaya,” tandasnya.
Menurut Saurip, NKRI sejatinya lahir dari kontrak sosial, sebagaimana teori yang dirumuskan John Locke dan Thomas Hobbes pada abad ke-17. “Proklamasi 17 Agustus 1945 itu kontrak sosial. Ketika sekutu datang, rakyat langsung melawan karena merasa sudah merdeka. Itu bukti republik ini milik rakyat, bukan penguasa,” tegasnya. Ia menolak pandangan bahwa kemerdekaan kita diperoleh dengan merebut.
“Merebut dari siapa? Bukankah Belanda sudah 3,5 tahun lebih dahulu hengkang dan Jepang malah kita bantu. Kalau kemerdekaan dianggap hasil rebutan, yang punya negara adalah penguasa, rakyat hanya penumpang. Itu tidak boleh,” katanya.
Saurip menegaskan perlunya reformasi menyeluruh, termasuk reformasi birokrasi, agar negara kembali pada hakikatnya sebagai alat dan wadah seluruh rakyat. Ia mengkritik mentalitas aparat yang merasa sebagai majikan, padahal sejatinya mereka adalah karyawan rakyat.
“Di seluruh dunia, yang memberi upah adalah rakyat. Di rumah namanya pembantu rumah tangga, di kantor namanya karyawan. Tapi di Indonesia, rakyat yang menggaji malah dibentak-bentak. Ini harus ditata ulang,” ujarnya tajam.









