Anomali Pemberantasan Korupsi, ‘Jampidsus Pernah Dilaporkan ke KPK’

oleh -33 Dilihat
oleh

Sejumlah pengamat dan aktifis menilai upaya pemberantasan korupsi sepanjang 2025 berjalan tidak konsisten dan sarat kepentingan politik, sehingga memupuk pesimisme publik dan memperlebar jarak kepercayaan rakyat terhadap negara.

Pesismisme ini terekam dalam suasana Diskusi Santai Akhir Tahun bertajuk “Anomali Pemberantasan Korupsi 2025, Harapan untuk 2026” yang digelar di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (28/12/2025).

Moderator Tejo Asmoro dalam paparan membuka diskusi menyampaikan sejumlah anomali dalam pemberantasan korupsi. Dia menyatakan, pemberantasan korupsi seolah menjadi etalase pamer hasil rampasan negara saja. Namun, penuntasan terhadap kasus korupsi hingga ke akarnya justru masih minim.

Tejo menilai, anomali pun terjadi di tengah gempita pemberitaan megahnya penanganan perkara korupsi . Kejaksaan Agung misalnya, diberitakan telah menyetorkan puluhan triliun rupiah duit hasil rampasan perkara korupsi.

“Namun, di saat yang sama, Jampidsus sebagai panglima pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung justru dilaporkan ke KPK dengan tuduhan dugaan korupsi lelang barang bukti,” ujarnya.

Sementara, imbuhnya, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai APH yang menerima laporan ini pun tak melakukan tindakan yang memadai. Kerap menyampaikan akan menindaklanjuti laporan, namun tak pernah terdengar kabarnya, “Ini lantas menjadi anomali tersendiri dalam penanganan perkara di KPK yang belakangan kerap mandeg,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum sekaligus aktivis 98 Firman Tendry menilai persoalan korupsi tidak hanya terjadi pada satu lembaga penegak hukum, melainkan hampir di semua institusi. “Internal Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, sama saja. Enggak ada bedanya,” ujarnya.

Karena itu, ia mengingatkan publik agar tidak menggantungkan harapan pada satu figur atau lembaga tertentu. “Tidak ada satu orang atau satu lembaga yang bisa menyelesaikan semua persoalan bangsa ini,” tambahnya.

Sementara, pengamat politik dan hukum yang juga aktivis 80an, Standarkiaa Latief, menyebut sejumlah fenomena dan anomali oleh penegak hukum menjadi alasan kuat pesimisme publik terhadap pemberantasan korupsi.

Menurutnya, korupsi di Indonesia tidak lagi sekadar kejahatan luar biasa, tetapi telah berkembang menjadi kejahatan sistemik yang dilembagakan melalui kebijakan negara. “Korupsi hari ini sudah menjadi bagian dari state crime, kejahatan yang dilakukan oleh negara itu sendiri,” ujarnya.

Ia menegaskan, pemberantasan korupsi tidak boleh berbasis kepentingan kekuasaan, melainkan harus bertumpu pada kepastian hukum. “Ketika elite politik diberi ruang impunitas, yang dikorbankan adalah rasa keadilan publik. Ini sangat sadis dan masih terjadi sampai hari ini,” katanya.

Pandangan berbeda disampaikan aktivis mahasiswa Fikri. Ia menyinggung kerusuhan yang terjadi pada Agustus lalu yang, menurutnya, tidak dapat dilihat semata-mata sebagai tindakan kelompok tertentu, melainkan berkaitan dengan akar persoalan sosial yang diperburuk korupsi dan ketidakadilan. “Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menciptakan jarak antara negara dan masyarakat,” ucapnya.

Fikri menutup dengan harapan agar praktik korupsi ditekan melalui pengawasan publik yang lebih kuat, partisipasi generasi muda, serta komitmen nyata para pemangku kepentingan.

No More Posts Available.

No more pages to load.