Jakarta, sketsindonews – Coffe Warning Indonesia Club (CWIC) di Hall Dewan Pers yang di hadiri para nara sumber (paktisi). profesi dalam diskusi publik kemaren banyak hal yang harus dicermati bagaimana menilai perjalanan bangsa hingga kepimpinan Nasional dalam mengarungi peradaban bangsa.
Banyak orang menilai dalam perjalanan demokrasi di Indonesia memproduksi pemimpin yang tak memiliki integritas dan miskin kenegarawanan.
Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionil telah turun derajatnya hanya menjadi pilar di era reformasi. Maka setidaknya perjalanan bangsa ini harus dikoreksi dengan segera agar kembali “On The Track” sesuai dengan filosofis bangsa indonesia UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Inilah cuplikan dan pendapat dari berbagai sumber dari narasi diskusi para tokoh, praktisi yang ikut dalam formula sikap dan pendapat yang di himpun sketsindonews. com hasil kutipan Hartsa Mashirul.(9/4)
Resume dan Narasumber
Haris Rusly Moti (Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998)
Apa yang sedang kita hadapi saat ini adalah sedang terjadi mutasi krisis ke dalam situasi yang makin kronis. Mutasi dari krisis kenegaraan menjadi krisis peradaban yang dapat meruntuhkan bangsa dan negara.
Kita sedang memasuki tahap makin membusuknya peradaban bangsa, setelah sebelumnya kita mengalami krisis kenegaraan.
Krisis kenegaraan atau kekacauan tatanan bernegara, ditandai oleh adanya benturan antar institusi negara, yang diakibatkan oleh tumpang tindih kewenangan antar institusi negara, baik vertikal maupun horisontal, baik pusat maupun daerah.
Sementara krisis peradaban yang ditandai oleh rusaknya moralitas dan hancurnya mental berbangsa. Ketika politik ditakar dengan duit semata. Persis seperti kata Emha Ainun Nadjib di acara Peringatan Malari 2018 di Yogyakarta, manusia merusak sistem dan sistem nya kembali merusak manusia.
Rahman Toha (Sekjen KA – KAMMI)
Kepemimpinan basis pemahaman yang mengerti Indonesia sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan arus potensi-potensi konflik untuk yang justru dapat mengganggu eksistensi Indonesia. Sejak Pemerintahan Jokowi memimpin dia membangun stabilitas kekuasaan.
3 (tiga) hal yang perlu dibangun untuk menghalau potensi kegagalan negara:
Pertama, konsolidasi ekonomi
Kedua, membangun pola ekonomi lebih adaptif dan lebih pro kesejahteraan rakyat
Ketiga, rakyat harus lebih aktif menghadapi situasi global.
Natalius Pigai (Pegiat HAM)
Kita baru berbicara pada hal-hal sepele makanan dan minuman dan ini memang penting, tapi jauh lebih penting bagaimana membangun “nation” and “character building” sebagai komunitas bangsa dan negara.
Pancasila tidak dapat dijadikan pilar karena Pancasila adalah filosofi groundslag. Tapi pemimpin kita menempatkan Pancasila sama dengan pilar-pilar lain seperti pilar ekonomi, pilar budaya budaya, pilar ini itu. Karena tanpa pondasi, bangsa kita mengalami goncangan-goncangan.
Pernyataan Jokowi bahwa menjauhkan Tuhan dari negara itu mengancam pemikiran mayoritas kaum intelektual Islam. Itu problem serius yang sekarang masih dalam perdebatan terkait dengan Ketuhanan YME.
Ketuhanan YME membuka seluas-luasnya bagi setiap orang menjalankan arah spiritualitas yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Distribution of justice dan distribution of power itu terjadi melalui proses demokrasi yang baik, jujur dan adil. Kedaulatan seorang pemimpin itu bukan kedaulatan pribadi. Negara mengalami kesulitan distribution of justice, distribusi pembangunan yang merata di seluruh Indonesia.
Infrastruktur hanya memberi kesempatan kerja sedikit dan uangnya masuk ke kantong-kantong oligarki yaitu kantong asing dan aseng, tetapi kesempatan kerja tidak tercipta di lapangan.
Dewi Kartika (Konsorsium Pembaharuan Agraria)
Lahirnya UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 itu artinya ada kesadaran para pendiri bangsa bahwa salah satu krisis ketika Indonesia merdeka itu adalah harus mengatasi krisis agraria tersebut. Karena pada masa itu, pasca masa kolonial Belanda seluruh kekayaan alam terutama sumber-sumber agraria baik sektor kehutanan maupun perkebunan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda waktu VOC.
Dalam UUPA para pendiri bangsa mengamanatkan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, tanah bukan hanya dilihat sebagai bahan properti yang dapat diperjualbelikan bahkan dikuasai secara berlebihan atau melakukan monopoli terhadap sumber-sumber yang ada di Indonesia khususnya tanah.
Sehingga negara mempunyai hak mengatur peruntukan, penggunanan, penguasaan, pemeliharaan berkelanjutannya dengan prinsip-prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sebesar 95, 76% tanah di Indonesia dikuasai swasta. Dari 42 juta hektar lebih sudah dikeluarkan ijinnya dalam bentuk HPH, sosial forestri, kemudian dalam bentuk pinjam kawasan hutan dsb termasuk ijin tambang dsb. Sisanya 4% dikuasai oleh rakyat, 1 untuk kepentingan umum.
Di Jawa memiliki ketimpangan kronis. Dampaknya dari pertumbuhan ekonomi yang difokuskan di Jawa, dampaknya terhadap masyarakat miskin itu sangat terasa. Hal ini juga dampak dari liberalisasi agraria. Problem perkebunan, pada tahun 2017 Kementerian ATR mengidentifikasi bahwa ada banyak perusahaan-perusahaan perkebunan menelantarkan lahan seluas 2 juta ha lebih.
Diberikan ijin, tetapi secara fisik ditelantarkan. Sedangkan komposisi pengaturan 70% dibawah Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, 30% di bawah Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Pembagian sertifikat itu tidak ngibul, tapi karena ini diklaim dari target 9 juta hektar yang seharusnya ada prioritas penerima manfaat, sehingga ini perlu dikritisi bersama.