Uniknya Budaya Jogjakarta Dalam Perspektif Mahasiswa Luar Jawa

oleh
oleh

Mendengar disapa ramah seperti itu lalu ia tidak lupa membalas dan menjawab dengan salam yang diketahuinya secara umum “Selamat siang pak”, sambil menganggukan kepala. Ternyata kemudian sapaan ramah bapak kos tersebut diulangi lagi oleh ibu kos yang tak kalah ramahnya “monggo nak….”. sambil juga mengarahkan jempolnya kearah hidangan di meja makan yang sudah lengkap tersedia.

Sebakul nasi, sayur lodeh, tempe goreng, tahu bacem, telur asin dan ayam goreng serta teh manis panas yang terlihat masih mengepul. Aromanya sangat menggugah selera.

Melihat keramahan bapak dan ibu kos Ini menurut sembiring, ia jadi merasa tidak enak hati bila tuan rumah sudah mengajak makan dan kelamaan menunggu. Segera ia masuk dan duduk menyambut ajakan makan siang dari bapak ibu pemilik kos tersebut.

Suasana mulai menjadi agak sedikit kikuk ketika anak-anak pemilik kos sebanyak 4 orang mulai datang dan bergabung. Kursinya ternyata menjadi kurang satu. Sejak dahulu kala memang hanya ada 6 kursi dan 1 meja bulat sedang diruang makan tersebut.

Untung saja salah satu anak bapak kos sekonyong-konyong, tiba-tiba pamit keluar karena ada ketinggalan catatan kuliahnya di toko fotocopy disebelah rumah kos.

Setelah semua duduk, Sembiring menceritakan ia ikut santap siang bersama dengan keluarga bapak Soeroto dengan lahap. Dan ternyata karena menunya joss didukung hawa dingin sehabis hujan sehingga tambah menggugah selera. “Pastinya jadi nambah nasi dan lain lain secara lengkap (maklum anak kos),” ujarnya.

Suasana kos sore itu menjadi riuh ketika ia dipanggil dan “diinterogasi” oleh salah seorang mahasiswa senior yang kebetulan juga paling lama tinggalnya di kos kosan tersebut.

“Sepertinya enak sekali rejekimu siang tadi ya lae. Kok bisa kamu diundang bapak kos makan siang bersama, sedangkan aku sudah 7 tahun kos disini tidak pernah diajak makan sama bapak kos”. Protes sang mahasiswa senior yang kebetulan arek suraboyo ceplas ceplos saja kalau bicara, mirip seperti orang medan. To do Point. Right or wrong is my country.
Karena ditanyakan demikian ia lalu menceritakan kronologisnya sejak awal munculnya kalimat “sakti” bapak kos saat mau makan siang, “Monggo nak sembiring” sehingga menurutnya bahwa untuk membalas keramahan undangan bapak kos tersebut maka seperti yang biasa dilakukan dikampungnya di Sumatra Utara bahwa ucapan “monggo nak” yang disampaikan dengan sepenuh hati tersebut harus dibalas juga dengan sepenuh hati, dan sesegera mungkin.

Finalnya berlanjut dengan eksekusi makan bersama dan karena memang cocok menunya maka ia sekalian nambah nasi dan lain-lain.

Ketika kronologis itu diceritakan dengan polosnya maka tanpa diduga, meledaklah tawa terbahak-bahak semua rekannya sehingga menimbulkan suara gaduh dirumah kos.

Disinilah unik dan rumitnya budaya di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.