Buruh sengaja menyuarakan isu HOSJATUM (Hapus OutSourcing dan Pemagangan – Jaminan Sosial – Tolak Upah Murah) karena buruh merasakan kesenjangan ekonomi dan kesenjangan pendapatan semakin melebar (angka gini rasio menurut World Bank 0,42), bahkan OXFAM yang merupakan salah satu lembaga riset internasional yang berbasis di Inggris merilis pernyataan bahwa jumlah kekayaan 4 orang kaya di Indonesia setara dengan jumlah kekayaan 100 juta penduduk Indonesia.
Menurut buruh, beberapa faktor penyebab kesenjangan pendapatan ini adalah karena Presiden Jokowi menetapkan kebijakan upah murah. Sebagai contoh, pada tahun 2017 kenaikan upah minimum berdsaarkan PP 78/2015 berkisar Rp 130 ribu – 260 ribu. Nilai ini bila dikonversikan ke dalam dollar adalah 10 dollar sampai 20 dollar.
“Nilai 10 – 20 dollar adalah seharga satu buah kebab yang kita beli di Jenewa atau di Singapura. Ini artinya, pemerintah menilai kerja keras dan keringat kaum buruh selama sebulan kenaikan upahnya hanya dihargai satu buah kebab,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Lebih lanjut Iqbal mengatakan, hal ini sungguh ironis. Padahal Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah nomor 3 tertinggi di dunia dan pencapaian program tax amnesty adalah nomor satu terbaik di dunia. “Tetapi kenaikan upah buruhnya hanya seharga sebuah kebab,” katanya.
Upah yang murah ini diperparah dengan diresmikannya sistem pemagangan oleh Presiden Jokowi di Karawang. Buruh menilai, pemagangan ini sesungguhnya adalah sistem outsourcing yang berkedok pemahangan. Jika hal ini dibiarkan, kesenjangan ekonomi dan kesenjangan sosial makin parah.