Selain itu, dalam Pasal 462, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan. Pasal 463 ayat (3) KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan menerbitkan keputusan KPU dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu.
Terkait dengan beberapa pasal di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa jika KPU masih menunda untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dan Kab/kota, KPU telah melanggar UU Pemilu. Selanjutnya, pada Pasal 464, dalam hal KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau Peserta Pemilu tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota mengadukan ke DKPP.
Pastinya, sebagai sesama penyelenggara, kita berharap hal ini tidak akan terjadi. Untuk kepentingan bagaimana menyelenggarakan pemilu pertama serentak antara pileg dan pilpres, dengan tantangan bahkan ancaman yang luar biasa, dibutuhkan kekompakan dan soliditas untuk saling memperkuat, hal ini sebisa mungkin harus dapat dihindari.
Di sisi lain, ketika polemik ini dikondisikan menjadi dikotomis, secara kelembagaan Bawaslu dipersepsikan menjadi lembaga yang tidak pro terhadap pemilu yang bersih dari kontestan mantan terpidana korupsi.
Tentu kita berharap polemik ini tidak memanas seperti polemik di dunia hukum yang pernah terjadi, “cicak vs buaya”. Solusi harus segera dirumuskan dan diupayakan pelaksanaannya, agar tidak mendorong pro-kontra lagi.
Solusi untuk Pemilu yang Berintegritas dan Adil.
Ada dua poin solusi yang bisa diupayakan. Pertama solusi dengan mengedepankan pakta integritas, yang secara formal tidak menggunakan pendekatan hukum seperti yang sudah berkembang polemiknya dalam beberapa hari terakhir. Masing-masing “kubu” kekeh dengan perspektifnya dan menyalahkan yang lain. Kedua, solusi dengan pendekatan hukum yang secara efektif memecah kebuntuan. Bagaimana langkah konkretnya?
Saya akan coba mengelaborasi sedikit pemikiran saya terkait dengan langkah pertama, yaitu dengan pendekatan pakta integritas, Bawaslu dan KPU mendorong setiap ketua umum dan sekjen parpol menandatangani kesepakatan untuk tidak mendaftarkan bacaleg mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Langkah yang harus dilakukan adalah:
1. KPU, Bawaslu dan DKPP harus segera melakukan konsolidasi. Sebagaimana amanah UU No 7 Tahun 2017, bahwa KPU, Bawaslu dan DKPP adalah satu kesatuan penyelenggara pemilu. Kesamaan persepsi dan good will atas PKPU tersebut sudah sama sejak awal, itulah kenapa Bawaslu agresif mendatangi partai-partai dengan menyodorkan pakta integritas, juga sebagai upaya pencegahan pelanggaran pemilu.
Dengan kesamaan good will tersebut, melakukan konsolidasi ini sepertinya tidak akan sulit.
2. KPU, Bawaslu bersama DKPP dapat memanggil ketua umum dan sekjen partpol yang bermasalah untuk membuka kembali pakta integritas yang sudah ditandatangani bermaterai bahwa tidak akan mengajukan bakal calon legislatif mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Dengan kembali mengingatkan dan membangun good will yang sama kuatnya dengan peserta pemilu, polemik yang ada sepertinya akan lebih mudah diatasi. Saya sangat setuju dengan statement Pak Abhan, Ketua Bawaslu, “Kalau sebuah perikatan yang wanprestasi itu adalah ketum dan sekjen, hukumlah partainya, bukan calonnya. Ini kan di syarat pencalonan, bukan syarat calon”.
3. KPU, Bawaslu bersama DKPP dapat mendorong polemik ini menjadi momentum terciptanya pemilu yang dicita-citakan. Bersih pesertanya dari mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi, bersih pelaksanaan pemilunya dari pelanggaran-pelanggaran pemilu dan menghasilkan pemenang yang insya Allah akan bersih dan amanah, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai badan legislatif.
4. Kita pahami dalam negara demokrasi, partai politik menjadi tonggak utama yang menjadi faktor penentu. Jika partai politik sudah baik sistemnya, bersih. Tentu akan mendorong eksekutif dan legislatif yang bersih.
Kedua, solusi dengan pendekatan hukum. Ada tiga langkah untuk mengupayakan pendekatan ini, yaitu:
1. KPU, Bawaslu bersama DKPP berkoordinasi dengan lembaga yudikatif, MK dan MA untuk segera menindaklanjuti permohonan JR terhadap UU dan PKPU. Dengan tahapan pemilu yang sangat terbatas waktunya, langkah-langkah efektif perlu diupayakan untuk segera menghasilkan keputusan MK dan MA menjadi sangat penting.
Selanjutnya, adalah membuat langkah antisipasi terhadap kepastian hukum yang akan diputuskan. Misalnya, jika putusan JR PKPU di MA ternyata menggugurkan PKPU.
Maka yang harus dilakukan adalah seperti yang sudah beberapa kali disinggung oleh pimpinan Bawaslu, Bu Dewi dan Pak Fritz, terhadap caleg tersebut, di kertas suara disebutkan sebagai mantan narapidana.
Bahkan menurut saya, bisa saja antisipasi terhadap putusan MA tersebut dibuatkan “semacam keputusan” yang mengatur, pada masa kampanye, alat peraga kampanye (APK) yang dibuat oleh KPU, juga melebeli yang bersangkutan dengan menyebutkan sebagai mantan narapidana. Saya pikir hal itu tidak terlalu berlebihan.
2. Selain pendekatan terhadap lembaga yudikatif, dengan waktu yang terus berjalan dan tahapan pemilu selanjutnya juga perlu disiapkan perangkat teknis dengan berbagai aturan, perlu juga dilakukan upaya pendekatan terhadap lembaga eksekutif. KPU bersama Bawaslu berkoordinasi dengan pemerintah, untuk menetapkan kepastian hukum. Jika perlu, mendorong pemerintah untuk membuat perppu.
3. Terakhir, jika memang tidak mungkin kedua langkah di atas karena penyelenggaraan pemilu dibatasi dengan waktu, ada baiknya KPU menjalankan amanah UU Pemilu. Pada pasal 463 ayat (3), KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan menerbitkan keputusan KPU dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu.
Bisa saja dengan mengganti poin pelarangan mantan napi tadi dengan hal yang sangat teknis, yaitu KPU akan menuliskan predikat mantan napi pada APK dan kertas suara pada caleg yang bersangkutan.
Terlepas dari berbagai buah pikir yang coba penulis paparkan, yang pasti, semua stakeholders menantikan kepastian hukum yang berkekuatan hukum tetap. Dalam UU Pemilu, putusan Bawaslu berkekuatan hukum tetap. Tetapi masih ada mekanisme JR ke MA yang ada di luar UU Pemilu, menguji PKPU oleh MA diatur dalam UUD 1945 Pasal 24A.
Sementara itu, menurut jadwal tahapan pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU, dalam waktu dekat, pada 20 September 2018 – 16 November 2018 penyelesaian sengketa penetapan pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sedangkan terhadap calon legislatif dan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki sengketa, pada 23 September 2018 – 13 April 2019 sudah bisa melakukan kampanye calon angota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Semoga segala upaya untuk menyelenggarakan pemilu yang berintegritas dan adil, dapat tercapai.
Oleh: Munandar Nugraha
Anggota Bawaslu Kota Jakarta Selatan