Jakarta, sketsindonews- Penantian panjang untuk mencari keadilan di Indonesia bagaikan mencari sebuah jarum di tumpukan jerami.
Hal itu dialami oleh Maria Magdalena Andriani Hartono seorang pencari keadilan. Ia melaporkan kasus yang dialami ke Mabes Polri pada 8 Agustus 2008. Pengaduan Maria Magdalena tercatat No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8 Agustus 2018, di Bareskrim Mabes Polri, perihal dugaan keterangan palsu dengan terlapor Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.
Sayangnya hingga Juli 2019, belum ada kejelasan mengenai status perkaranya. Konon perkara tersebut telah dihentikan alias SP3 oleh Mabes Polri aecara diam-diam. Untuk itu Maria pun melalui kuasa hukumnya, Alexius Tantrajaya menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Alasan Alexius menggugat lantaran dirinya tidak mendapatkan kepastian hukum dan profesinya dilecehkan para tergugat. Tergugat yang dimaksud Alexius adalah: Pemerintah Indonesia (Presiden RI), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas, Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, masing masing sebagai tergugat I sampai dengan X. Sedangkan Ketua Ombudsman diposisikan sebagai turut tergugat.
Dalam berkas gugatan, tergugat I sampai tergugat X disebut melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap penggugat. Terkait PMH tersebut, Alexius Tantrajaya mengajukan ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar secara tanggung renteng terhadap tergugat I sampai X.
Alexius Tantrajaya mengatakan, para tergugat telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” ujarnya.
Surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan diabaikan selama rentan waktu 10 tahun lebih.
“Kepada presiden, kami juga berkirim surat seperti ke lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Hasilnya, jangankan perlindungan hukum, merespon surat kami pun tak pernah. Akibatnya, pengaduan klien kami menggantung terus padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun,” keluh Alexius Tantrajaya.
Putusan pengadilan
Singkat cerita, akhirnya majelis hakim pimpinan Muhammad Djoenaidie pun memutuskan bahwa gugatan yang diajukan Alexius Tantrajaya sebagai Penggugat bukan domain perdata melainkan ranah pidana.
Dalam pertimbangnnya majelis berkesimpulan gugatan yang diajukan penggugat bukan kewenangan perdata melainkan ranah pidana. Hakim mengisyaratkan agar penggugat melakukan gugatan praperadilan
“Setelah kami pertimbangkan dan cermati gugatan dari penggugat itu. Justru yang dipermasalahkan itu adalah laporan pidana yang tidak ditindaklanjuti hingga sepuluh tahun lebih delapan bulan. Majelis “seakan-akan” dalam gugatannya diminta pengugat untuk para tergugat melakukan penyelidikan dan penyidikan. Padahal itu bukan kewenangan perdata, itu ranah pidana. Artinya gugatan itu bisa dilakukan dengan gugatan praperadilan,” pungkas M Djoenaidie seusai sholat Magrib di lingkungan PN Japus, Selasa (1/10). Sofyan Hadi






