Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta resmi meluncurkan buku “Jejak Kemandirian Pangan Lokal” pada Jumat, 5 Desember 2025 di Tamarin Hotel, Jakarta Pusat. Buku ini merangkum liputan mendalam dari 10 jurnalis terpilih dalam program Journalist Fellowship 2025, yang menelusuri praktik kemandirian pangan di berbagai daerah di Nusantara.
Setiap kisah dalam buku tersebut menampilkan pengetahuan tradisional, inovasi komunitas, serta upaya pelestarian sumber pangan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Di Gunung Kidul, misalnya, petani kembali menanam varietas pangan tahan kering dengan mengumpulkan dan menjaga benih-benih lokal. Di Bali, keladi togog dihidupkan kembali sebagai pangan alternatif serbaguna, mulai dari umbi hingga daun. Sementara masyarakat Flores menjadikan uwi zapu (ubi gaplek) sebagai penyangga ketahanan pangan ketika harga beras melonjak.
“Rekan-rekan media adalah mitra penting dalam mendorong transformasi sistem pangan yang holistik. Bunga rampai ini diharapkan memperkaya wawasan dan menumbuhkan optimisme bahwa Indonesia memiliki kekuatan besar untuk membangun sistem pangan yang sehat, beragam, berkeadilan, tangguh, dan lestari,” ujar Sakinah Ummu Haniy, Communications Lead KSPL.
Sebagai rangkaian acara peluncuran, KSPL juga menggelar talk show bertema “Pangan Lokal Kunci Swasembada”. Dialog ini membahas peran pangan lokal dalam mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan nasional.
Tiga narasumber hadir dalam sesi tersebut: Herry Purnomo, Country Director CIFOR Indonesia & Profesor IPB University; Ike Widyaningrum, Ketua Kelompok Substansi Padi Tadah Hujan dan Lahan Kering, Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; serta Rahmatia Garwan, Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya, Badan Pangan Nasional.
Herry Purnomo menyoroti tantangan besar pelestarian pangan lokal, mulai dari persepsi masyarakat yang masih berorientasi pada beras hingga daya saing ekonomi yang lemah. Ia menilai intervensi pemerintah sangat dibutuhkan agar pangan lokal mendapat ruang di pasar modern.
“Pangan lokal sudah kuat di daerah, seperti tiwul di Yogyakarta. Tantangannya bagaimana masuk ke sektor modern dan bernilai ekonomi,” ujarnya.
Rahmatia menambahkan, pangan lokal sudah masuk dalam peta jalan ketahanan pangan nasional melalui Perpres 81/2024 tentang Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Pemerintah telah menyiapkan 18 rencana aksi, termasuk kampanye, edukasi, penguatan komunitas adat, hingga insentif petani. Menurutnya, pangan lokal memiliki keunggulan berupa kandungan gizi baik dan ketersediaan yang luas di berbagai wilayah.
“Jika ketergantungan pada beras berkurang, kebutuhan karbohidrat bisa dipenuhi dari sumber pangan lokal yang setara,” jelasnya.
Ike Widyaningrum menegaskan komitmen Kementerian Pertanian dalam mengembangkan pangan lokal melalui Direktorat Aneka Kacang dan Umbi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah diversifikasi tanaman di lahan sawah, termasuk sistem tumpang sari. Keladi, jagung, dan kacang-kacangan disebut bisa tumbuh di pematang sawah tanpa teknik budidaya rumit.
“Banyak pangan lokal mudah dibudidayakan. Setelah target swasembada tercapai, kami akan fokus memperkuat pengembangan pangan lokal,” kata Ike.
Para narasumber sepakat bahwa krisis iklim semakin memperkuat urgensi diversifikasi pangan. Cuaca ekstrem, fluktuasi curah hujan, hingga meningkatnya bencana hidrometeorologi mengancam produksi beras nasional. Dalam kondisi ini, pangan lokal dinilai menjadi kunci kemandirian dan ketahanan pangan.
Selain itu, pola konsumsi berbasis pangan lokal juga berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca, sehingga ikut mendukung agenda keberlanjutan.











