Banjir bandang yang melanda kawasan Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, meninggalkan dampak mendalam bagi warga. Tidak hanya kehilangan rumah dan mata pencaharian, para penyintas juga menghadapi persoalan kesehatan yang muncul selama berada di pengungsian.
Virginia (25), warga Jorong Labuah, Nagari Sungai Batang, harus meninggalkan rumahnya dalam kondisi gelap dan panik saat banjir datang tanpa peringatan. Ia hanya sempat menyelamatkan dokumen penting sebelum air menghanyutkan rumah beserta sumber penghidupan keluarganya.
“Kami cuma sempat bawa dokumen. Suara dentuman sudah terdengar, air menyebar ke mana-mana,” ujarnya.
Kini Virginia bersama tiga anaknya tinggal di posko pengungsian Pasar Rakyat Nagari Sungai Batang. Kondisi pengungsian yang terbuka, minim perlengkapan, serta udara dingin dan berdebu memicu berbagai keluhan kesehatan, terutama pada anak-anak.
“Selimut seadanya, tempatnya terbuka, anak-anak jadi gampang batuk. Saya sendiri sempat demam hampir sepuluh hari,” katanya.
Keluhan serupa dialami Nani (46), warga Nagari Bayua, yang datang ke posko kesehatan bersama anaknya.
“Saya sering pusing dan pinggang sakit, mungkin karena kelelahan dan rasa takut. Anak saya juga gatal-gatal,” ungkapnya.
Kepala Puskesmas Maninjau, Ns. Hermalina, S.Kep., menjelaskan bahwa gangguan kesehatan tersebut merupakan pola umum pascabencana.
“Kasus terbanyak yang kami tangani adalah ISPA, hipertensi, diare, penyakit kulit, nyeri otot, dan demam. Lingkungan pengungsian, kelelahan, serta stres sangat memengaruhi kondisi warga,” jelas Hermalina.
Menurutnya, layanan kesehatan terus digerakkan melalui puskesmas, posko kesehatan, layanan keliling, hingga kunjungan langsung ke lokasi pengungsian.
“Kami berupaya memastikan warga tetap mendapatkan layanan kesehatan meski dengan keterbatasan. Selama masih dibutuhkan, kami akan terus turun ke lapangan,” tegasnya.
Di tengah situasi sulit, posko kesehatan menjadi penopang rasa aman bagi warga. Virginia mengaku rutin memeriksakan kondisi dirinya dan anak-anak.
“Alhamdulillah dilayani dengan baik, diberi obat sampai sembuh,” katanya.
Nani pun merasakan hal serupa. “Dokternya ramah, pelayanannya bagus. Anak saya dapat salep dan obat, saya juga. Sangat membantu,” ujarnya.
Namun, tantangan warga tidak berhenti pada kesehatan. Rumah Virginia dan rumah ibunya mengalami kerusakan berat. Sebagai pedagang gorengan, hilangnya peralatan masak berarti terputusnya sumber penghasilan.
“Kami ingin mandiri lagi. Kalau ada kompor atau wajan, kami ingin mulai jualan. Tidak mungkin terus bergantung pada bantuan,” tuturnya.
Kisah Virginia dan Nani mencerminkan kondisi banyak penyintas banjir di Maninjau. Di tengah kehilangan dan ketidakpastian, mereka bertahan sambil berharap pemulihan berjalan lebih cepat dan berkelanjutan.






