Straits Times : Ceritra Di Balik Keraguan SBY Saat Menjabat Presiden

oleh
oleh

Jakarta, sketsindonews – Bulan Oktober 2009 adalah titik balik Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemilihan presiden putaran pertama tahun itu, ia memperoleh 61%suara. SBY menjadi presiden untuk masa jabatan lima tahun kedua.

“Efek pemilu itu begitu dahsyat pada psikologinya. Ia merasa terangkat  tinggi ke tempat unik dalam sejarah. Mendadak seluruh mimpi sepanjang hidupnya terpenuhi, didorong masa kecilnya yang tidak bahagia, ia menjadi seseorang. Dan rasa kepuasan diri yang mendalam meliputi dirinya,” kata Gyreg Fealy, akademisi dari Australian National University, yang mengamati 10 tahun pemerintahan SBY.

Sejak saat itu, stabilitas adalah obsesi terbesar SBY.Untuk memastikan kenyamanannya, SBY membangun koalisi multipartai dengan membagi-bagi kursi di kabinet. Ia melakukan polling hampir pada semua keputusan politiknya.

Menurut Fealy, SBY “menjadi pengikut (follower) daripada pemimpin (leader).”Lalu, SBY mempekerjakan staf yang bertugas berburu penghargaan, terutama dari lembaga luar negeri.

Lelaki tinggi besar kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949 itu masih di sana, di Istana, tapi tidak hatinya.

Ia memilih pedagang dan Ketua Umum Golkar saat itu, Aburizal Bakrie, hanya sebagai contoh,  dan menekan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati supaya mundur karena menagih utang pajak perusahaan Bakrie.

Sri kemudian menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia sebelum dipanggil pulang Presiden Joko Widodo tahun ini dan kembali menjadi bendahara negara.

Sejak itu merebaklah wacana negara autopilot, istilah yang menjadi besar terutama setelah sarasehan Anak Negeri bertajuk “Penyelamatan Negara Autopilot” pada 2012. Dalam sarasehan itu didiskusikan kinerja pemerintah yang rendah.

Lalu dilemparkan isu itu: Indonesia adalah sebuah kapal terbang tanpa pengemudi. Negara berjalan otomatis seolah tanpa perlu pemerintah.

Lily Wahid sempat berkomentar makjleb: “Kendali pesawat diserahkan pilot otomatis karena pilot yang asli asyik bernyanyi, main gitar, atau mengarang lagu!”
Pada Januari 2014, 50 tahun setelah “little red book” Mao Zedong diterbitkan di Cina, SBY merilis “big white book”, refleksi pribadinya menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Di harian Kompas edisi 17 Januari 2014, buku yang diterbitkan oleh anak kandung koran tersebut dinamakan bukan curhat, bukan pembelaan diri, melainkan keinginan SBY berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.