Straits Times : Ceritra Di Balik Keraguan SBY Saat Menjabat Presiden

oleh
oleh

Buku ini membahas bagaimana Indonesia berusaha keluar dari berbagai krisis serta apa saja warisan SBY. Juga mengapa SBY gagal mewujudkan janji-janji politik yang pernah dikemukakannya. Serta ada deskripsi tentang keluarnya Indonesia dari krisis ekonomi 1998, namun gagal memanfaatkan peluang bangkit kembali saat kenaikan harga komoditas pada 2004-2012, masa penting kekuasaan SBY.

The Strait Times juga menurunkan ulasan buku ini dan menyebut  SBY sebagai presiden yang selalu ragu dalam pengambilan keputusan penting. Kami sadur beberapa bagiannya.

Biasanya, Presiden SBY berbincang tentang satu tema tertentu dengan banyak orang, namun kecuali kepada istrinya Kristiani, tak ada seorang pun yang ia percaya sepenuh hati.

“Diskusi biasanya berhenti dengan sendirinya. Menyesap dan mengimplementasikan hal-hal baru adalah hal sulit baginya,” kata seorang lingkaran dalam Istana saat itu.

Salah seorang staf Wakil Presiden awalnya mengira akan bekerjasama erat dengan presiden. Namun Boediono ternyata harus selalu menghubungi ajudan SBY terlebih dulu sebelum bisa bertemu, walau presiden selalu mempunyai waktu menemui wakilnya itu. “Ini hubungan hirarkial, dan sebagai orang Jawa, Boediono selalu tahu diri. Saya kira mereka akan bertemu setiap hari, namun hubungan mereka tak dekat sama sekali.”

Tentu saja ada godaan menjadi psikolog amatir bahwa kecenderungan SBY hanya percaya segelintir orang dekatnya seperti itu adalah sindroma “anak tunggal”, yang kesulitan membangun hubungan sosial dan secara sengaja menjaga hubungan karena merasa superior.

Namun pakar dari Universitas Texas, Toni Falbo, mengatakan apa yang dilakukan SBY adalah sikap seorang Jawa. SBY lebih termotivasi menjaga hubungan personal supaya tidak dekat, mencegah konfrontasi, dan menjaga nama baik. Lebih dari segalanya, SBY terobsesi dengan konsensus.

Dalam lorong-lorong rahasia Istana, SBY disebut pernah mengatakan tak ada satu pun keputusan yang mudah, sebab selalu mengandung faktor yang harus diseimbangkan satu sama lain.

Orang yang lama mengenal SBY yakin ia memasuki politik dengan asumsi keliru peranannya sebagai presiden terbangun hati-hati. Namun segera sadar memenangkan pemilu dan mengelola kekuasaan yang baru direngkuhnya  adalah dua hal yang berbeda. Itulah yang membuat SBY seolah berjalan di rawa-rawa, harus yakin pijakan di depannya adalah tanah padat yang kuat diinjaknya, sebelum berani melangkah.

“Yudhoyono ditentukan kebiasaannya. Ia ingin menyenangkan semua orang. Itu yang membuatnya tak pernah mengambil posisi  jelas.

Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang tegas mengambil posisi oposisi waktu itu, sampai berkata  SBY terlalu asyik mengelus-elus citranya. “Itu fokus utama semua yang ia kerjakan. Itulah pusat dunianya,” kata seorang kolega SBY.

Dan citra yang tergambar di masyarakat sekarang adalah SBY tidak melakukan apa-apa selama 10 tahun menjadi Presiden RI. (*)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.