“Belum pernah pemerintah Indonesia datang kemari, kami juga masih bingung, kami masuk wilayah administrasi mana, sehingga semua infrastruktur juga tidak ada, dan kami juga bingung mengeluh ke mana,” sambungnya.
Dikatakan lagi, warga setempat tidak memiliki penghasilan layaknya warga di kampung lain.
Terlebih lagi, mata pencaharian warga berburu dan berkebun, hanya bisa untuk menyambung hidup sehari-hari.
Tak hanya permasalahan ekonomi, pendidikan dan kesehatan di kampung ini juga tidak ada sama sekali.
“Untuk makan kami sehari-hari makan keladi, sagu, betatas dan hasil buruan kami dihutan,untuk pendidikan dan kesehatan tidak ada. Kalua ada warga yang sakit ya kami menggunakan ramuan dari hutan juga untuk obat,” ujarnya.
Adapun struktur bangunan perumahan warga hanya terbuat dari kayu dab beratap daun sagu. Sementara jarak antar rumah satu dan lainnya sekitar 10-20 meter, membuat kampung tersebut tampak sunyi. Bahasa sehari-hari mereka gunakan bahasa daerah Dumnye, sebagian besar penduduk setempat tak dapat berbahasa Indonesia.