Dan yang terakhir, PP No. 60 tahun 2016 bukan merupakan proses dan usaha terencana untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan berbagai pernyataan memalukan berupa keterangan birokrat yang terkesan ingin lepas tangan dari tanggung jawab atas dikeluarkannya PP No. 60 Tahun 2016. Media swasta nasional meliput bagaimana Kepala Kepolisian RI, Menteri Keuangan Ri, Menko Perekonomian RI dan bahkan Presiden sendiri saling melempar bola panas pertanggung-jawaban kenaikan ongkos pelayanan public yang jauh dari kata menyejahterahkan rakyat.
Secara yuridis, PP No. 60 Tahun 2016 cacat secara materil dan administrasi dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan. Unsur materil yang dilanggar adalah adanya konflik hukum dengan peraturan perundangan-undangan diatasnya. PP No. 6 tahun 2016 bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik disebutkan penentu biaya atau tarif pelayanan publik ditetapkan dengan persetujuan DPR dan DPRD. Sementara penyesuaian tarif tersebut belum dibahas dan ditetapkan oleh DPR sehingga penerapan penyesuaian hukum tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum.
Kenaikan STNK, TNKB dan BPKB juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan Negara bukan pajak khusunya pasal 3 ayat 1 yang berbunyi “tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. PP No. 60 Tahun 2016 dianggap cacat administrasi karena tidak ada kejelasan informasi dokumen asli yang seharusnya bisa dikonsultasikan kepada sejumlah pihak dan dilakukan uji publik sebelum efektif diterapkan masyarakat.
Harga pengurusan STNK, TNKB dan BPKB yang tinggi juga berpotensi mendorong timbulnya pungutan liar atau pungli dari masyarakat kepada petugas untuk meringankan biaya.
Beban masyarakat akan kenaikan biaya pengurusan STNK, TNKB dan BPKB ditambah juga dengan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mencekik masyarakat.
Penerapan harga dasar baru BBM Jenis Umum yang berlaku pada pukul 00.00 tanggal 5 Januari 2017 dengan kenaikan sebesar Rp. 300 dan harga yang berbeda beda di setiap wilayah, melalui Surat Keputusan Direktur Pemasaran PT. Pertamina Nomor Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3 tanggal 4 Januari 2017 bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam Perpres No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Pasal 14, dijelaskan bahwa Harga Dasar dan Harga Eceran BBM (dalam hal ini meliputi BBM Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum/Non Subsidi) ditetapkan oleh Menteri ESDM.
Keputusan untuk mencabut secara bertahap subsidi listrik untuk pelanggan rumah tangga 900 volt ampere juga dianggap mencekik bagi sebagian masyarakat yang menjadi pelanggan. Klaim pemerintah bahwa terdapat sebagian besar dari 22,9 juta rumah tangga ialah golongan mampu yang tidak berhak mendapatkan subsidi listrik yakni sebesar sekitar 18,8 juta pelanggan, dan hanya 4,1 juta pelanggan yang berhak.
Akan tetapi pencabutan bertahap ini tentu secara makro akan mendorong peningkatan inflasi selain memperluas ruang fiskal, dan secara mikro akan melemahkan daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah yang menjadi pelanggan utama listrik berdaya 900VA. Masyarakat yang terkena dampak tentu akan merasakan “pemiskinan relatif” yang disebabkan oleh berkurangnya pendapatan yang diterima mereka karena kebutuhan pengeluaran yang perlu ditunaikan untuk membayar listrik yang melonjak 143% hingga Mei 2017.
Kado awal tahun yang diberikan oleh Jokowi berupa kenaikan biaya pengurusan STNK, TNKB dan BPKB, BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) jelas-jelas merupakan kado yang menyengsarakan rakyat dan mencederai bentuk negara kesejahteraan dan melanggar pemenuhan tujuan negara yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.