Wayang Kulit, Budaya Jawa Yang Eksis Didalam Arus Modernisasi

oleh
oleh

Yogyakarta, sketsindonews – Wayang kulit menjadi salah satu icon budaya Jawa yang sering dipentaskan di desa-desa di pulau jawa, khususnya di Jawa tengah. Telah banyak lahir dalang-dalang baru yang membuat kesenian wayang kulit tetap lestari dan digemari oleh masyarakat. Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta sebagai penerus kebudayaan kerajaan Mataram Islam juga banyak melahirkan dalang-dalang berkualitas seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Hadi Sugito, Ki Seno Nugroho dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi sayang seiring dengan geliat perkembangan zaman dan generasi, geliat wayang kulit sebagai salah satu icon budaya Jawa sudah mulai berkurang. Sekarang di desa-desa anak-anak lebih familiar dengan lagu-lagu orkes dangdut, reggae ataupun yang lainnya.

Barang kali di sekolah-sekolah perlu diajarkan mata pelajaran warisan budaya Indonesia, agar kedepanya warisan budaya Indonesia yang adiluhur tetap terjaga dan lestari. Bahkan pada tanggal 07 Nopember 2003 Wayang Kulit telah diakui PBB melalui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia asli Bangsa Indonesia, yang mungkin dari sekian jenis wayang yang ada, wayang kulit terlihat paling menarik dan ada penilaian tersendiri dari UNESCO terhadap Wayang Kulit.

Menurut sejarah Wali Songo, wayang kulit pertama kali diciptakan oleh Sunan Kalijaga, ketika itu wayang kulit dipentaskan saat peresmian Masjid agung Demak. Musyawarah dewan Wali sepakat peresmian Masjid Agung Demak dilaksanakan pada hari Jum’at, kemudian diadakan dakwah kepada masyarakat dan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit dan Sunan Kalijaga ditunjuk sebagai Dalang, dengan lakon Jimat Kalimasada.

Pada zaman sebelum Wali songo bentuk wayang masih seperti wayang beber atau bergambar manusia dan wayang jenis ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, kemudian Sunan Kalijaga membuat Kreasi baru. Bentuk wayang dirubah sedemikian rupa dan digambar atau diukir pada sebuah kulit kambing atau kerbau. Satu gambar adalah satu wayang, berbeda dengan zaman dahulu dimana satu gambar adalah satu adegan.

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.