Wayang Kulit, Budaya Jawa Yang Eksis Didalam Arus Modernisasi

oleh -139 Dilihat
oleh

Yogyakarta, sketsindonews – Wayang kulit menjadi salah satu icon budaya Jawa yang sering dipentaskan di desa-desa di pulau jawa, khususnya di Jawa tengah. Telah banyak lahir dalang-dalang baru yang membuat kesenian wayang kulit tetap lestari dan digemari oleh masyarakat. Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta sebagai penerus kebudayaan kerajaan Mataram Islam juga banyak melahirkan dalang-dalang berkualitas seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Hadi Sugito, Ki Seno Nugroho dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi sayang seiring dengan geliat perkembangan zaman dan generasi, geliat wayang kulit sebagai salah satu icon budaya Jawa sudah mulai berkurang. Sekarang di desa-desa anak-anak lebih familiar dengan lagu-lagu orkes dangdut, reggae ataupun yang lainnya.

Barang kali di sekolah-sekolah perlu diajarkan mata pelajaran warisan budaya Indonesia, agar kedepanya warisan budaya Indonesia yang adiluhur tetap terjaga dan lestari. Bahkan pada tanggal 07 Nopember 2003 Wayang Kulit telah diakui PBB melalui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia asli Bangsa Indonesia, yang mungkin dari sekian jenis wayang yang ada, wayang kulit terlihat paling menarik dan ada penilaian tersendiri dari UNESCO terhadap Wayang Kulit.

Menurut sejarah Wali Songo, wayang kulit pertama kali diciptakan oleh Sunan Kalijaga, ketika itu wayang kulit dipentaskan saat peresmian Masjid agung Demak. Musyawarah dewan Wali sepakat peresmian Masjid Agung Demak dilaksanakan pada hari Jum’at, kemudian diadakan dakwah kepada masyarakat dan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit dan Sunan Kalijaga ditunjuk sebagai Dalang, dengan lakon Jimat Kalimasada.

Pada zaman sebelum Wali songo bentuk wayang masih seperti wayang beber atau bergambar manusia dan wayang jenis ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, kemudian Sunan Kalijaga membuat Kreasi baru. Bentuk wayang dirubah sedemikian rupa dan digambar atau diukir pada sebuah kulit kambing atau kerbau. Satu gambar adalah satu wayang, berbeda dengan zaman dahulu dimana satu gambar adalah satu adegan.

“Bentuk wayang yang ditampilkan Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia bentuk wayang seperti ini hanya ada dipulau Jawa, “papar Ki Gedhe Djati

Bukan hanya sebagai pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga piawai menjadi Dalang. Setelah peresmian Masjid Agung Demak, Beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukan untuk menghibur dan berdakwah kepada masyarakat. Lakon yang dibawakan sering kali hasil ciptaannya sendiri, seperti Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, Dewa Ruci, Wahyu Widayat.

Dari sisi lakon/alur cerita, wayang memang diambilkan dari Kitab Mahabarata (India), namun kalau dari sisi sejarah, wayang kulit memang dibuat oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah Islam waktu itu. Bahkan Sunan Kalijaga menciptakan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebagai pemegang Jimat Kalimasada (Kalimat Syahadat).

Sunan Kalijaga adalah salah satu anggota Wali Songo yang dalam berdakwah beliau berbeda dengan Wali-Wali pada umumnya yang mendirikan pesantren atau surau sebagai tempat mendidik santri-santrinya, namun Sunan Kalijaga lebih memilih berdakwah menggunakan kesenian diantarnya menciptakan lagu-lagu gending Jawa dan pagelaran wayang kulit.

Sunan Kalijaga juga suka berkeliling atau mendatangi masyarakat secara langsung dalam berdakwah, Beliau terkenal diseantero pulau Jawa baik dikalangan bangsawan maupun rakyat jelata. Beliau juga dikenal sebagai Syeikh Malaya yaitu mubaligh yang menyebarkan agama Islam sambil mengembara.

Dengan memanfaatkan kesenian yang selain menjadi TONTONAN juga terdapat TUNTUNAN (ajaran kebaikan) didalamnya, tentunya banyak digandrungi oleh rakyat sebagai media dakwah dan tidak secara frontal menentang adat-istiadat dimasyarakat melainkan memasukan unsur-unsur islami kedalamnya sehingga tidak mengherankan bila cara dakwah yang dilakukan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga mencapai hasil gilang-gemilang, sebagian besar masyarakat Jawa menganut agama Islam secara sukarela dan tanpa paksaan.

Cara berdakwah yang tetap penuh dengan toleransi dan kedamaian ini yang senantiasa diharapkan masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang untuk tetap terciptanya suasana di masyarakat yang kondusif.

Oleh: Kumara Yassin Wisanggeni

No More Posts Available.

No more pages to load.