JOGJAKARTA TEMPO DULU DAN KINI

oleh
oleh
Foto/Ilustrasi

Oleh : Kumara

Jogjakarta, sketsindonews.com – Daerah istimewa Jogjakarta adalah salah satu provinsi tua di Indonesia, khususnya setelah pembentukan pemerintah Negara bagian Indonesia. Provinsi Jogjakarta juga memiliki status Istimewa atau otonomi khusus, status ini merupakan warisan dari Zaman sebelum kemerdekaan, berikut ini kisah perjalanan nasibnya.

Wilayah Daerah Istimewa Jogjakarta meliputi Kasultanan Jogjakarta,yang terdiri atas Kabupaten Kota Jogjakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul di tambah dengan Kadipaten Paku Alaman yang meliputi Kabupaten Kota Paku Alaman dan Kabupaten Adi Karto. Daerah Istimewa Jogjakarta ini memiliki status sebagai Kerajaan Vasal/Negara bagian/Dependent State pada zaman pemerintahan penjajahan mulai dari VOC, Hindia Prancis (Republik Batavia Belanda-Francis), India Timur (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland) dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).

Status ini membawa konsekwensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (Negaranya) sendiri dibawah pengawasan Pemerintah Penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga di akui dan di beri payung hukum oleh Suekarno yang kala itu duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah Daerah Istimewa, hanya tidak memiliki otonomi penuh dalam artian bukan Negara dalam Negara.

Kemudian menginjak antara Tahun 1960-1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat dekat dengan Bung Karno dengan jargon hilangkan feodalisme, menginginkan di hapuskanya Daerah Istimewa Jogjakarta melalui Parlemen. PKI mencoba mempengaruhi Bung Karno namun tidak berhasil karena keburu meletusnya G 30 S.

Ketika Sueharto berkuasa keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta tetap di pertahankan,karena waktu itu Hamengku Buwono IX sebagai wakilnya. Tetapi setelah tidak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, maka status Daerah Istimewa Jogjakarta hanya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sedangkan system Pemerintahan mengikuti pemerintahan Pusat Jakarta, bukan mengikuti system Kerajaan.

Sepeninggal Hamengku Buwono ke IX,tahun 1988, Presiden Sueharto tidak melantik Hamengku Buwono ke X sebagai kepala daerah (Gubernur) melainkan mengangkat Sri Paku Alam V111. Tampaknya Sueharto kurang menyukai Putra Hamengku Buwono ke 1X tersebut. Oleh karena itu hubungan Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat dengan Sueharto sempat dikhabarkan kurang baik.

Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden Sueharto, Sultan Hamengku Buwono ke X bersama sama Sri Paduka Paku Alam ke V111 mengeluarkan sebuah maklumat pisowanan agung mengajak Masyarakat dan ABRI untuk mendukung gerakan Reformasi damai.

Beberapa bulan kemudian Sri Paku Alam meninggal dunia. Kemudian timbul masalah bagi pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta dalam hal kepemimpinan. Maka terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, pihak Kraton Ngayokjokarto Hadiningrat dan Puro Paku Alaman, serta Masyarakat.

Keadaan ini lebih di sebabkan karena terjadi kekosongan Hukum yang di timbulkan UU no 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Daerag Istimewa Jogjakarta saat di jabat oleh Sultan HB ke IX dan Sri Paduka Paku Alam ke V111 karena dalam UU tersebut tidak mengatur masalah suksesinya.

Atas desakan Rakyat, Sultan Hamengku Buwono X di tetapkan sebagai Gubernur Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa Jabatan 1998-2003 dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono X tidak di dampingi Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Ketika Jabatan Sultan Hamengku Buwono X berakir tahun 2003 kejadian di tahun 1998 terulang kembali, DPRD propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999, namun seluruh Masyarakat Jogjakarta menghendaki agar Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta.

Beberapa waktu yang lalu, keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta di permasalahkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, karena dianggap system monarki yang bertentangan dengan system demokrasi yang (katanya) sedang di bangun di Indonesia, oleh karena itu menurut SBY harus di ubah kembali statusnya.

Namun lagi lagi pendapat SBY mendapat Reaksi Keras dari Segenap lapisan Masyarakat Jogjakarta, Bahkan Masyarakat di luar Daerah Istimewa Jogjakarta menganggap ada perseteruan politik antara Presiden Republik Indonesia dengan Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Kraton Ngayogjokarto Hadiningrat. Susilo Bambang Yudhoyono pun gagal mengusik Keistimewaan Jogjakarta. Akankah Nantinya Presiden Jokowipun akan mengusik keistimewaan Jogjakarta sebagai isyu politik?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.