”Kelompok bawah tanah tidak menggunakan layanan chat seperti ini (Telegram), mereka sudah tahu dimonitor. Yang susah (dideteksi), mereka bersembunyi dalam program game, menggunakan fitur chatnya untuk berkoordinasi,” ungkapnya.
Telegram tidak digunakan kelompok pro ISIS untuk merancang teror, kata Budi, tetapi untuk arah ‘social grouping’.
Dia menjelaskan bahwa telegram dipakai istri-istri teroris dan keluarganya untuk mencari pekerjaan. Yang sesungguhnya juga bisa dilakukan dengan platform lain seperti Whatsapp.
Karena itu, Dia menganggap bahwa langkah pemerintah menutup Telegram tidaklah tepat, karena nantinya justru menyulitkan untuk mendeteksinya.
”Sebab kalau diblokir jadi tidak terdeteksi lagi secara penyidikan,” tandas Budi.
(Eky)