Catatan panjang ini menempatkan etnis kurdi “belajar dan terbentuk” menjadi factor penentu stabilitas di Timur Tengah dan Asia Kecil. Hal ini tidak terlepas upaya “front” barat AS membendung kualisi Rusia, RRC dan beberapa Negara Balkan pasca Perang Dingin maka Kualisi AS/barat menempatkan etnis Slavia dan Turki sebagai “kekuatan potong” kualisi Rusia/RRC cs, serta kepentingan AS menstabilkan Palestina.
Momentum perang melawan militan ISIS pasca runtuhnya Sadam Husain, Qadafi, Krisis Mesir, Pembrontakan Suriah dan Krisis Ukraina memastikan “etnis kurdi” adalah hal penting dalam pergeseran “konflik” perubahan perang darat menuju perang laut dari Timur Tengah, Asia Kecil Samadra Pasifik menuju samudra hindia. Seperti hanya Viatnam menjaga ketahanan nasionalnya mengambil peran strategis konflik Laut Cina Selatan dalam “reklamasi” Spratli.
Dunia baik Front Kualisi Rusia/RRC dan Front Kualisi AS/Barat faham betul apa yang sedang terjadi hari ini pergeseran geopolitik/geostrategic apa itu Rohingya-Myanmard, Xinjian, Tibet, Mongolia Dalam, kebangkitan Mancuria bagi letak RRC dan sebaliknya konflik mengarah “krisis” di Internal Pemerintahan Trump dalam kebangkitan Klu Klu Klan.
Situasi ini menempatkan Weltanschauung mesti dipelebar sebagai faktor baru dalam konsep pertahanan negara-negara benua Afrika, Asia, Eropa. Gelombang “Proxy War” pasca perang dingin menghantarkn arus pengungsi dan operasi bandit-bandit Internasional yang memiliki senjata nuklir serta “penyelundupan” baik secara resmi maupun Ilegal senjata-senjata api/militer.
Indonesia sebagai silang strategis pergeseran “koflik” Timur Tengah, Asia Kecil menuju Samudra Pasifik, Samudra Hindia telah mendeteksi hal ini dimulai dari sosialisasi Perang Modern 2003 akhir, Perang Asimetris 2011 akhir, Proxy War 2016 dan Invesible Hand 2017.
Kebutuhan Energi, Air, Pangan menempatkan Indonesia bukan menjadi bagian terpisah dari pergeseran geopolitik yang terjadi hari ini dan akan datang menuju penguatan Pasar Bebas 2020 Global Free Trade Area.