Opini, sketsindonews – 72 Tahun Indonesia merdeka menjadi “alat uji” bagi eksistensi Pancasila dan 2017 menjadi alat ukur 2019 seperti apa PANCASILA terhadap 2020.
1Juni 2017 Pemerintah Indonesia menegaskan Saya Indonesia dan Saya Pancasila dalam memperingati hari Pancasila maka “saya”, yang dimaksud sudah tentu bukan hanya bernama Ir. Jokowidodo melainkan “saya” Kepala Pemerintahan dan Negara Indonesia sebagai Presiden RI.
Saya Indonesia, Saya Pancasila menunjukan jelas bahwa letak de’fakto Pancasila menjadi Jiwa tertinggi bagi Indonesia dari suara lembaga Eksekutif.
Sudah tentu hirarki eksekutif dapat menjawab pernyataan tersebut dan secara sistematis menyerap pada Visi-misi setiap “para” pembantu Presiden.
Sehingga Saya Indonesia, Saya Pancasila bukan hanya sebatas kekuatan de’fakto tetapi juga menjadi kekuatan de’jure.
Sudahkah capain ini terjadi ?, tapi yang jelas 1 Juni 2017 sampai dengan hari ini Oktober 2017 tidak sedikit peristiwa politik dan penyelesainnya tidak menggunakan “Rumusan Pancasila” lebih cendrung kegaduhan tersebut saut menyaut menjadi dikotomi mempertahankan kekuasaan atau menjatuhkan kekuasaan atas kepentingan yang terselubung dan secara teori potensial hal ini dapat dilihat dari sudut pandang “invesible hand”.
16 Oktober 2017 ada “peristiwa” penting dimana Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI.