Undang-undang (UU) yang dibuat adalah produk politik dari berbagai kepentingan yang sedang berkuasa, baik di pemerintah maupun di DPR. Oleh karena itu, UU apapun termasuk UU Pemilu selalu mempunyai kekurangan atau celah menjadi bagian untuk pengakalan kecurangan oleh pemain politik.
Pada umumnya mereka yang mempunyai berkepentingan, selalu mencari celah dari aspek kekurangan suatu UU untuk mewujudkan kepentingannya. Faktor pertama yang dilihat, apakah dari aspek yuridis (UU) ada celah untuk dipergunakan guna mewujudkan kepentingannya.
Selain itu, mencari celah dari kelemahan dalam pelaksanaan secara teknis. Persoalan teknis yang tidak pernah selesai mulai dari Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Faktor teknis dalam penetapan siapa yang berhak menjadi pemilih selalu tidak bisa diselesaikan dengan baik.
Di masa pemerintahan SBY muncul gagasan untuk mewujudkan Single Identity Card untuk mengakhiri KTP ganda yang bisa dipergunakan memilih lebih dari satu kali. Jika tidak salah, kemudian melahirkan gagasan E-KTP.
Akan tetapi, malangnya justeru dijadikan sarana korupsi berjamaah seperti diungkap Setya Novanto di pengadilan Tipikor bahwa para petinggi partai politik di parlemen (DPR) dan di Kementerian Dalam Negeri RI menerima suap dari proyek E-KTP.
Maka gagasan baik untuk memperbaiki sistem pemilu dengan satu kartu identitas berupa KTP sehingga kecurangan dari daftar pemilih bisa diatasi, akhirnya gagal.
Rawannya PPS dan PPK