Terlepas dari segala kontroversi itu, kita kembali pada pokok persoalan, ada hal yang jauh lebih penting lagi yang patut diperhatikan oleh insan pers tanah air, yakni potensi belanja iklan nasional tadi, karena berdampak sangat luas terhadap keberlangsungan pers Indonesia.
Berbicara potensi belanja iklan nasional tentunya tak terlepas dari ruang lingkup operasional perusahaan pers. Tak bisa dipungkiri bahwa ada 43 ribuan media yang dikalim Dewan Pers belum terverifikasi dan abal-abal.
Sayangnya, puluhan ribu media massa tersebut di atas, tidak ikut menikmati belanja iklan nasional yang mencapai angka lebih dari 100 triliun rupiah per tahun.
Berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bahwa belanja iklan media di Indonesia sepanjang tahun 2012 mencapai angka Rp 107 triliun. Dan pada Tahun 2013 menyentuh Rp147 triliun. Sedangkan tahun 2014 belanja iklan melonjak sampai Rp155 triliun. Kemudian menurun pada 2015 sebesar Rp118 triliun.
Sementara perusahaan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2016 mencatat belanja iklan di televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun.
Dari total jumlah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis di atas Rp 100 triliun tersebut, sebagian besar dikuasai oleh media TV sekitar 80 persen dan sisanya dibagi-bagi oleh media cetak, radio, dan media online. Tahun 2018 lalu, belanja iklan TV menembus angka 110 triliun Rupiah.
Selama ini publik berhak bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menyelesaikan persoalan pers Indonesia, termasuk mengenai peluang pemerataan belanja iklan nasional tersebut bagi media lokal. Praktek yang dijalankan saat ini justeru Dewan Pers hanya sibuk menggelar diskusi dan menyebar propaganda tentang media dan wartawan abal-abal tanpa memberi solusi yang jelas.
Milyaran rupiah menguap dari anggaran Dewan Pers jalan-jalan ke seluruh daerah hanya untuk menyebarkan propaganda pers abal-abal.
Sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan kemerdekaan pers tentunya Dewan Pers wajib mengambil langkah nyata untuk menjalankan fungsi tersebut. Selama bertahun-tahun dengan anggaran mencapai triliunan rupiah melalui Kementrian Kominfo, Dewan Pers baru berhasil memverifikasi 2744 perusahaan pers dari sekitar 43.000 media.
Dewan Pers yang pengangkatannya disahkan oleh Presiden Republik Indonesia harus memahami bahwa secara hukum, setiap warga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2). Kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Selain itu, dalam Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan atau meningkatkan taraf kehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia, pemerintah wajib menciptakan lapangan pekerjaan untuk seluruh warga Indonesia. Ini sesuai dengan kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak-hak warga Indonesia, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Ironisnya, Dewan Pers justeru sibuk membuat pernyataan yang kontraproduktif dengan menuding bahwa orang mendirikan media untuk tujuan memeras. Padahal, kenyataannya ada ribuan media didirikan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan informasi publik dan potensi menciptakan lapangan pekerjaan di bidang pers.
Pada bagian lain, Dewan Pers yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers justeru menjadi bagian terpenting dalam upaya mengkriminalisasi pers Indonesia.
Penerapan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian mengancam eksistensi pers di Indonesia.