Wartawan yang belum atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa pers, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW sehingga perkara yang diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Padahal pelaksanaan UKW oleh Dewan Pers ini adalah bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan karena yang berwenang melaksanakan Uji Kompetensi adalah Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP dan bukannya oleh Dewan Pers.
Persoalan ini akhirnya dijawab Anggota Dewan Pers Henry Ch. Bangun. Ramai diberitakan, Henry menyampaikan bahwa nantinya uji kompetensi wartawan atau UKW yang selama ini diselenggarakan oleh Dewan Pers bakal dislaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang diterapkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Artinya, pernyataan Henry tersebut mengakui bahwa apa yang dijalankan Dewan Pers selama ini tentang UKW adalah tidak berdasarkan UU Ketenagakerjaan sebagaimana selama ini diprotes oleh Serikat Pers Republik Indonesia dalam berbagai tulisan, bahkan gugatan resmi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagai solusi dari penerapan UKW abal-abal, DPP SPRI telah mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia yang nantinya diupayakan mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP. Degan adanya LSP Pers Indonesia maka kedepan nanti wartawan dapat mengikuti uji kompetensi melalui wadah resmi dan sertifikatnya diakui oleh negara.
Dari seluruh perosalan yang diurai di atas ada satu solusi yang ditawarkan pergerakan kelompok pers yang tidak diakui oleh Dewan Pers yakni Sekretariat Bersama Pers Indonesia. Sejumlah Ketua Umum dan pimpinan organisasi pers berkumpul dan berkomitmen menegakan kemerdekaan pers dengan misi mengembalikan kedaulatan pers Indonesia kepada insan pers tanah air secara professional dan bertanggung-jawab.
Di penghujung tahun 2018 lalu, hampir 3000 wartawan bersatu hati mengikuti kegiatan akbar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Ribuan wartawan ini datang secara sukarela dengan biaya sendiri hanya untuk menghadiri Mubes Pers Indonesia dengan satu harapan yaitu kriminalisasi dan diskriminasi terhadap pers Indonesia dihentikan. Deklarasi berdirinya Dewan Pers yang Independen pun lahir pada Mubes Pers ini.
Dan kini kesinambungan kegiatan Mubes Pers Indonesia 2018 itu berlanjut pada rencana pelaksanaan Kongres Pers Indonesia 2019 yang sedianya akan digelar pada tanggal 6 Maret 2019 di JICC Kemayoran Jakarta. Kongres Pers Indonesia 2019 ini akan melahirkan sejumlah peraturan-peraturan di bidang pers dan anggota Dewan Pers yang independen.
Sebagai permenungan, hari ini kita masih melihat running text di salah satu media TV nasional mengumumkan bahwa wartawannya tidak menerima imbalan dalam mejalankan tugas liputannya. Pengumuman seperti itu terjadi karena ada potensi wartawannya menerima amplop. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, masih ada wartawan media mainstream menerima amplop sebagai imbalan liputan. Dewan Pers sepertinya menutup mata atas kondisi ini. Atau mungkin pura-pura tidak tahu.
Sebetulnya, solusi untuk meningkatkan independensi pers, ada satu cara yang diatur oleh UU Pers yaitu pada pasal 10 dimana disebutkan; “Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”
Dewan Pers perlu membuat program untuk mendesak perusahaan-perusahaan pers nasional agar segera memenuhi kewajiban pemberian kesejahteraan kepada wartawan sebagaimana diatur pada pasal 10 UU Pers tersebut.
Saat ini masyarakat pers ingin tahu berapa sebetulnya gaji atau upah ideal wartawan Indonesia untuk jaminan independensi pers mengacu dari perhitungan kasar penghasilan media besar yang mencapai angka triliunan rupiah.
Muncul pertanyaan, “Pernahkah Dewan Pers memasukan itu dalam agenda kerja utamanya? Dan bagaimana caranya agar media dan jurnalis abal-abal versi Dewan Pers bisa dibina agar tidak menjalankan praktek abal-abal, bukannya diberantas?”
Mendirikan media dan mempekerjakan watawan yang belum professional itu bukanlah tindakan kriminal yang harus diberantas. Yang layak diberantas itu adalah praktek monopoli belanja iklan. Karena itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selama ini media lokal tidak kebagian belanja iklan. Semua dikuasai oleh media besar berskala nasional. Namun Dewan Pers lagi-lagi memble.
Hak mandapatkan belanja iklan nasional harus diperjuangkan. Kalau bukan kita siapa lagi. Mari kita bersatu melawan tirani Dewan Pers dan mengembalikan kedaulatan Pers Indonesa. Tanggal 6 Maret 2019 Kongres Pers Indonesia 2019 bisa menjadi solusi perjuangan bersama.
Oleh : Heintje Grontson Mandagieetua
Ketua DPP Serikat Pers Republik Indonesia dan Sekretaris Sekber Pers Indonesia