Menuju keadilan Pemilu Demokratis, Dalam Aturan Tidak Ada Multi Tafsir Yang Ada Kesetaraan

oleh
oleh

Jakarta, sketsindonews – Bawaslu Provinsi DKI Jakarta gelar workshop bersama 26 perguruan tinggi di Jakarta di Hotel Acacia, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/19) dengan Tema Eksaminasi UU Pemilu terhadap beberapa kausul pasal UU Pemilu Tahun  2017 yang multi tafsir didalam menjalankan keadilan hukum di sengketa pemilu.

Keterkaitan pengawas pemilu posisi warga sebagai pelapor dalam sengkera proses pemilu dari objek sengketa di Gakumdu, PTUN hingga Tingkat MK dibahas dalam eksminasi UU Pemilu Tahun 2017.

Dalam workshop hadir para narasumber antara lain  Irvan Mawardi PTUN Bandar Lampung, Mahyudin anggota Bawaslu DKI, M Jufri Ketua Bawaslu DKI Jakarta.

Didalam diskusi muncul berbagai persoalan mengenai isu pengupasan UU Pemilu yang menurut Mahyudin harus ditangani dengan tegas. “Jangan dimunculkan aturan baru sehingga menjadi persepsi berbeda dan menjadi polemik dalam penyelenggaraan setiap pemilu,” ujarnya.

Sementara Komisioner Bawaslu DKI Jakarta Bidang Tindakan Pemilu Puadi mengukapkan, pengaturan UU No 10 tahun 2016 masih berlaku dalam pemilihan kepala daerah periode tahun 2020 sekalipun KPU telah mengajukan beberapa kausul perubahan pasal – pasal yang tidak sejalan dengan hakekat keadilan demokrasi.

Dalam pelaksanaannya UU Pemilu No 7 tahun 2017 selama ini sudah terbiasa dilakukan pengawas pemilu terdapat perbedaan yang multi tafsir dalam pelaksanaan di tingkat implementasi pengawasan.

“Seperti saat pelanggaran pemilu penerimaan si pelapor dalam melaporkan peristiwa batas waktu 7 hari sedangkan di UU Pilikada 5 hari, ini juga menjadi kendala,” ungkap Puadi.

Dia menyebut bahwa hal tersebut yang menjadi sumber kekacauan karena ada residual multi tafsir setidaknya ini untuk tidak terjadi kembali untuk dibuat menjadi satu putusan dalam di UU Pemilu.

Lanjut Puadi, Bawaslu DKI akan melakukan judicial legislatif kepada DPR terkait UU pemilu yang masih inkonstusi beberapa pasal demi pasal pemilu baik pengawasan, sengketa pemilu pelanggaran administratif maupun putusan hukum di tingkat di pengadilan.

Dia mencontohkan kasus di pasal 480 ayat 1 pada kausul absensia UU Pemilu No 7 tahun 2007 proses ini hanya waktu 5 hari tidak cukup dalam melakukan penuntasan pelanggaran pemilu sejak diketahui menjadi satu pelanggaran pemilu.

“Kausul pada penggedahan juga sangat dibutuhkan untuk Bawaslu bisa melakukan inisiatif pemeriksaan pada kasus pelanggaran pemilu,” katanya.

Terkait hal larangan kampanye di tempat rumah ibadah, menurutnya juga sangat complecated untuk ditafsirkan serta menjadi satu polemik dalam mencari titik keadilan pembuktian serta money politik dalam perdebatan di tingkat penyidik mapun penyelidikan.

“Dalam menuju keadilan pemilu demokratis seharusnya dalam aturan tidak ada multi tafsir yang ada kesetaraan,” tegas Puadi.

Begitu pula dalam penegakan hukum Bawaslu, Polisi (penyidik) dan Gakumdu, PTUN, dan MK harus bisa seirama dalam satu regulasi sehingga tidak banyak pandangan berbeda.

“Dengan berbagai persoalan tadi serta berbagai produk masukan serta kajian dalam diskusi oleh Bawaslu DKI ini menjadikan satu rekomendasi untuk kami bawa kepada pihak Bawaslu RI dan DPR RI Komisi II,” pungkasnya.

(Nanorame)

No More Posts Available.

No more pages to load.