Jakarta, sketsindonews – Konsep penanganan wabah disuatu wilayah negara, adalah haus berdasarkan peraturan hukum yang ada, dan atas pengetahuan terbaik kita tentang “karakter” penyebab wabah tersebut.
Mutasi virus corona penyebab covid 19, adalah organisme yang memiliki karakter “mampu hidup di dalam maupun di luar inangnya (habitatnya maupun “cariernya”, misal manusia), dalam waktu 9-14 hari, dapat ditularkan secara langsung melalui “virus yang ada dalam droplet orang yang terinfeksi”.
Virus yang brukuran “nano” ini, secara langsung dapat dipaparkan melalui batuk, bersin, air mata, dan atau melalui perantara semua benda yang ada di tengah lingkungan kehidupan sosial kita yang menjadi tempat bagi virus tersebut, dan umumnya mellaui tangan kita virus tersebut masuk melalui mulut dan atau hidung kita, menginfeksi sel yang utamanya ada dalam organ pernafasan.
Sehingga secara statistik kecepatan penularan covid 19 bertambah secara EKSPONENSIAL dalam waktu 4 hari. Tingkat kematian akibat covid 19, tidak tinggi, umumnya 3%, tetapi di Indonesia saat ini sangat tinggi akibat keterlambatan diagnosa penderita, sehingga keterlambatan dilakukan perawatan, terutama pada orang tua dan yang disertai penyakit lainnya memiliki “probabilitas tinggi” menyebabkan kematian.
Umumnya dapat sembuh sendiri melalui “release” antibody, yang otomatis dikeluarkan sebagai mekanisme imunitas tubuh manusia melalui darah setelah hari ke 6 infeksi.
Dimasa disrupsi saat ini, dampak covid 19 ini pada berbagai dimensi kehidupan sosial, jauh lebih dahsyat, dan berpotensi pada berbagai kehancuran bagi bangsa dan negara. Bukti nyata dihadapan kita semua, dilayar kaca dan berita surat khabar konvensional maupun elektronik phenomena yang selama ini kita anggap tidak mungkin terjadi di dunia, sepinya kota Makkah, Roma dan lainnya yang merupakan kota suci berbagai agama, di tingkat nasional dengan sepinya pusat pusat pertokoan, dan kita harus menerima sikap yang berbeda dengan philosofhi yang kita jadikan acuan dalam inter aksi sosial berdasarkan Panca Sila, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, tetapi saat ini harus menjalankan kehidupan dengan paradigma “Bersatu kita punah, menjaga jarak kita selamat”, yang kesemuanya bersifat sementara dalam menghadapi ancaman “covid 19”.
Transformasi digital menunjukkan bukti adanya keniscayaan kita untuk menerimanya, maka kita harus tunjukkan kecerdasan kita semua, untuk sementara waktu dalam menghadapi bencana covid 19 ini, kita semua harus bisa berproduksi melalui rumah masing-masing.
Tuntutan “rekonstruksi budaya” tentang makna “interaksi sosial formalitis” atas kehadiran fhisik walau tanpa makna terhadap substansi dalam makna satu kesatuan komunitas, saat ini harus berubah menjadi “silaturahmi substansial” dengan bersatu dalam seluruh tuntutan “kesetiakawanan sosial Pancasila” melalui “penyatuan pemikiran dan aksi bersama melawan covid 19”, dalam koordinasi pemerintah melalui Satgas percepatan penaganan covid 19, dalam melaksanakan mandat UU no 6 tahun 2018, Karantina Kesehatan, yang ditetapkan berdasarkan Kepres 11, th 2020 dan dipimpimpin secara langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Keberhasilan dalam kesinambungan aksi, membutuhkan fokus prioritas aksi untuk memastikan keberhasilan pada setiap tahapan, yang menjadi penentu tahap berikutnya.