Namun menurut seorang ulama sufi Betawi terkemuka, yaitu KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan, di dalam makalahnya yang berjudul \_Krisis Keimaman dan Keadaban Islami, bahwa dijuluki Sufi, apabila seorang mu’min, Muslim, muhsin, sungguh-sungguh dengan jujur mengaktualisasi iman, Islam dan ihsannya, dengan menggunakan tolok ukur keteladanan Rasulullah SAW.
Karena Sufisme bukan ditandai dengan kekumuhan, kelusuhan, tarian, lirik syair atau sikap kontroversial dan kontraproduktif yang dituduhkan kebanyakan orang. Seorang kepala negara, sultan, raja, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, mandor, konglomerat, pengusaha, kyai, ustadz, muballigh, supir, kernet, pedagang kaki lima-asongan, pengamen, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar atau pengangguran sekalipun, mereka dapat menjadi seorang sufi yang baik, sejauh mengimani dan membuktikan keimanannya bahwa jiwa dan harta mereka adalah dari Allah, diperoleh karena rahmat Allah dan bermanfaat di jalan Allah.
Sufi juga selalu beraktivitas di wilayah Quraniyah dengan mempedomani ayat 9 : 111:
“ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah (surga) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah ; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar”
Masih menurutnya, sufi merupakan sosok yang memiliki keadaban Islami, Sedangkan keadaban Islami merupakan Sunnatullah, sebuah gerak dinamika kehidupan yang memiliki kepastian hukum secara Qurani, yang harus dijaga keutuhan pertumbuhan dan perkembangannya oleh setiap pribadi Muslim, dalam mengisi dan memberi nilai murni pada upaya penegakan hukum-hukum Allah di muka bumi.