“Sehingga kami memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan hukum pidana,” pinta alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Hotma menjelaskan, pada 27 Juni 2011 terjadi perjanjian antara PT DBG dan PT GPE yang berlaku tiga tahun perjanjian. “Ini tidak pernah dijadikan bukti oleh penyidik dan penuntut umum, karena tidak terlampir dalam berkas perkara. Namun terungkap dalam persidangan bahwa ada perjanjian tanggal 27 Juni 2011 antara PT DBG dan PT GPE. Sehingga perjanjian tersebut adalah bukti surat yang harus dipertimbangkan dalam perkara ini,” tegas Hotma sembari menambahkan “Apalagi atas perintah majelis hakim agar penuntut umum memasukan perjanjian tersebut dalam daftar bukti perkara ini,” sebut dia.
Diakhir nota pembelaannya, Hotma menjelaskan bahwa PT DBG adalah perusahaan yang terdaftar menurut hukum Indonesia dan beroperasional serta memiliki izin untuk usaha penambangan. “Bahwa antara PT DBG dan PT GPE ada perjanjian kerjasama tanggal 27 Juni 2011. Dan PT DBG dan PT GPE juga tidak pernah memberikan cek atau bilyet giro yang kosong sampai dengan tahun 2012. Bahkan sampai tahun 2013 selalu melakukan pembayaran terhadap tagihan PT GPE. Untuk itu agar majelis hakim membuktikan bahwa tidak ada tindak pidana dalam perkara ini,” tutup Hotma.
Sekedar informasi, kasus tersebut bermula dari perjanjian pekerjaan penambangan batu bara pada Juni 2011 silam. Perjanjian antara PT Dian Bara Genoyang (PT DBG) sebagai pemilik tambang atau pemberi pekerjaan kepada PT Graha Prima Energy.