Kemudian untuk persoalan inti ketiga yakni perihal banyaknya guru ekskul yang terbengkalai, karena tidak dapat diakomodir dengan baik kerjanya, dan akhirnya tidak mendapat gaji.
“Selain itu, kami melihat banyak guru ekskul yang tidak diperhatikan sama sekali oleh Kemendikbud, kebijakan kemendikbud dengan meniadakan belajar ekskul ini tidak dapat diterima sama sekali. Selain mendiskriminasi guru ekskul, ini pun memperpanjang masalah perekonomian Indonesia selama covid-19,” jelasnya.
“Guru ekskul di Indonesia tergolong dalam guru silat, guru music, guru seni, guru oleharaga, dan guru budaya. Tentu guru ekskul ini memiliki jumlah yang sangat besar. Selain itu juga, guru ekskul memiliki nilai yang seharusnya diperhatikan, karena mereka mempertahankan eksistensi seni dan budaya di Indonesia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan adat Indonesia,” sambungnya.
Dari rangkaian panjang masalah tersebut, Adri memandang Nadiem tidak mampu menganalisis masalah pendidikan secara menyeluruh, dan tidak mampu mengantisipasi masalah-masalah yang akan terjadi berikutnya.
Seperti misalnya, kebijakan membebaskan sekolah menggunakan dana bos untuk menggaji guru, alih-alih memperhatikan perekonomian di lingkungan pendidikan dengan membebaskan sekolah menggunakan dana BOS sesukanya, justru Dana BOS malah menjadi bancakan oknum-oknum di dunia pendidikan.
“Dan ini juga tidak menjadi perhatian serius oleh kemendikbud.Nadiem sebagai Menteri Kemendikbud hanya menekan kinerja guru di sekolah berbasis laporan foto, tanpa memperhatikan dampak secara menyeluruh didalam maupun diluar sekolah sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh kemendikbud,” ungkapnya.
“Maka dari itu, Nadiem seharusnya fokus saja pada penanggulangan masalah seputar pendidikan, perhatikan bagaimana nasib siswa dan guru ekskul pasca pandemik, bukan malah menghapus sejarah yang seharusnya juga dipelajari oleh Menteri,” demikian Adri Zulpianto menutup.
(Eky)