Pembelian Pesawat Dakota
Untuk mewujudkan permintaan presiden, tiga belas perusahaan ekspor impor yang tergabung dalam Gasida Aceh, sepakat menyisihkan sebagian keuntungan dagangnya. Setiap penjualan kopra yang diekspor ke Malaya, disisihkan sedikit keuntungan untuk dana pembelian pesawat terbang.
Muhammad Djuned Yusus bersama Said Muhammad Daud Alhabsyi, memimpin Panitia Dana Dakota (Dakota Found). Para saudagar menyumbangkan uang dan emas. Sementara rakyat biasa ikut mengumpulkan hasil pertanian dan peternakannya untuk disumbangkan melalui panitia.
Mereka sepakat menugaskan cabang CV. Permai di Penang untuk menerima sumbangan para saudagar anggota Gasida. Terkumpul dana setara 20 kilogram emas atau 130 ribu dolar Singapura. Untuk menjamin keamanan, dana Dakota disimpan di Indian Bank Penang.
Awal Agustus 1948, Wiweko Soepono mendapat perintah dari Komodor Udara Suryadarma untuk pergi ke Ranggon, melaksanakan tugas pembelian pesawat terbang. Selama di Ranggon, oleh Kepala Perwakilan RI di Birma, Maryunani, Wiweko dikenalkan dengan James Tate dan J. Maupin, pengusaha penerbangan Peacock Airline. Lewat dua orang inilah, Wiweko menyampaikan keinginannya untuk membeli pesawat Dakota. James Tate dan J. Maupin pun menyanggupinya.
Pertengahan bulan September, pesawat Dakota pesanan Wiweko mendarat di Rangoon setelah overhaul di Hong Kong. Harga yang disepakati dalam kontrak sebesar 130.000 dolar Singapura, disetujui. Uang tersebut untuk membayar sebuah pesawat Dakota dan persediaan suku cadang, termasuk spare engine. Proses pembelian pesawat Dakota, selesai. Namun pembayarannya baru dilakukan pada tangga 21 Januari 1949.
Wiweko meninggalkan Rangoon kembali ke Indonesia membawa pesawat Dakota. Dalam penerbangan ini, Wiweko bertindak sebagai navigator mendampingi J. Maupin menerbangkan pesawat Dakota. Penerbangan mengambil rute Rangoon – Pekanbaru – Jambi – Maguwo, sebagai home base.
Pesawat Dakota memiliki panjang badan 19,66 meter, rentang sayap 28.96 meter, digerakkan dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.
Pesawat terbang yang semula menggunakan kode VR-HEC ini, diberi nomor regrestrasi RI-001 dan diberi nama Seulawah, sebagai penghargaan kepada masyarakat Aceh. Pesawat sumbangan masyarakat Aceh inilah yang menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dengan nama Indonesian Airways dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia.