Pada mulanya terdapat dua pemikiran untuk melancarkan operasi militer ini, yakni pendaratan dari laut di Pantai Pacitan atau penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Belanda memperkirakan bahwa Angkatan Udara Republik Indonesia memiliki beberapa pesawat di Pangkalan Udara Magowo, sehingga dengan mudah dapat menghantam gerakan pasukan bila dilaksanakan dari laut, sedangkan penerjunan dari udara merupakan hal yang riskan, sebab Belanda belum pernah melakukannya.
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Belanda mengambil keputusan bahwa penerjunan dari udara lebih memungkinkan dibandingkan dengan pendaratan dari laut. Dalam rencana serangan ini, Belanda menyiapkan secara besar-besaran kekuatan udaranya yang ada di Jawa maupun di Sumatera.
Jatuhnya Ibu Kota Republik Indonesia
Minggu 19 Desember 1948 pukul 05.30, belasan pesawat tempur Belanda terbang di atas Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta mengira, Angkatan Perang Indonesia sedang melakukan latihan perang secara besar-besaran. Mereka tidak tahu, bahwa deru pesawat tempur itu, menandai dimulainya Agresi Militer Belanda II.
Tak lama kemudian, pesawat B-25 Mitchell melepaskan sejumlah bom di Pangkalan Udara Maguwo, disusul tembakan dari lima pesawat pemburu P-51 Mustang dan sembilan pesawat P-40L Kitty Hawk. Agresi Militer ini dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor yang berada di salah satu pesawat B-25 Mitchell.