Saat itu, Pangkalan Udara Maguwo hanya dijaga 150 orang Pasukan Pertahanan Pangkalan di bawah pimpinan Kadet Kasmiran. Padahal sebelumnya di beberapa bangunan vital dan landasan telah dipasang bom yang siap diledakkan untuk membumihanguskan Pangkalan Udara Maguwo. Namun detonator bom yang telah disiapkan itu dilepas lagi, karena anggota Komisi Tiga Negara tidak mau mendarat di Maguwo, apabila di landasan dipasang bom.
Mendapat serangan mendadak, Pasukan Pertahanan Pangkalan kaget bukan kepalang. Walaupun kalah jumlah personel dan persenjataan, Pasukan Pertahanan Pangkalan ini mampu memberikan perlawanan tak kurang dari satu jam lamanya, sebelum akhirnya dapat dilumpuhkan. Di pihak Republik tercatat 40 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang tak satu pun jatuh korban.
Untuk merebut Pangkalan Udara Maguwo, Belanda tak hanya melepaskan tembakan dari udara saja, tapi juga menerjunkan pasukan Baret Merah Korps Speciale Tropen yang diterbangkan dari Pangkalan Udara Andir, Bandung. Tugas pasukan elit ini sebagai pasukan pendobrak untuk mengamankan Pangkalan Udara Maguwo dan sekitarnya agar pesawat angkut Belanda bisa mendarat dengan aman. Setelah menerjunkan pasukan baret merah, pesawat Dakota Belanda terbang menuju Lapangan Udara Kali Banteng, Semarang untuk menjemput pasukan Baret Hijau. Di titik yang sama, pasukan pimpinan Letnan Kolonel van Beek ini diterjunkan.
Pukul 08.00, Pangkalan Udara Maguwo berhasil dikuasi dan Belanda menyita beberapa pesawat terbang diantaranya pesawat Yokosuka K5Y Willow (Cureng), satu pesawat penumpang bermesin empat bersayap ganda de Havilland DH-86 (diberi registrasi oleh AURI, RI-008), dan satu pesawat amfibi PBY Catalina (RI-006).
Serangan mendadak Belanda mengagetkan para pemimpin Indonesia. Bahkan Operasi Gagak disebut dinilai sebagai tindakan pengecut, lantaran Belanda menyerang dengan tidak terlebih dulu menyatakan perang. Baru setelah Pangkalan Udara Maguwo berhasil dikuasai, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Joseph Bell menyampaikan pengumuman bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renvile dan penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibu Kota RI Yogyakarta, menandai dimulainya Aksi Polisional Belanda II.
Sore hari, Letnan Kolonel van Beek memasuki kota Yogyakarta, menangkap Presiden Soekarno. Bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta para pejabat tinggi lain yang berada di Yogyakarta, Presiden Soekarno menjadi tahanan rumah. Penangkapan para bapak bangsa menandai jatuhnya Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta, ke tangan Belanda. Tiga hari kemudian, Presiden Soekarno diterbangkan ke Sumatera untuk diasingkan.