Ketiga, apabila Pasal 282 RUU KUHP tetap dipertahankan, menurut Peradi, maka pasal ini tidak boleh hanya ditujukan kepada advokat. “Tetapi juga ditujukan kepada penegak hukum lain yaitu hakim, jaksa, penyidik, panitera termasuk juga klien,” ungkap Otto Hasibuan.
Keempat, Pasal 282 RUU KUHP adalah delik formil, sehingga sangat berbahaya bagi advokat dalam menjalankan tugasnya, karena ketika mendamaikan klien dengan lawannya, tentu bisa saja terjadi win win atau lose lose.
“Sehingga kalau karena sesuatu hal kliennya menyetujui untuk lose atau mengalah dalam perjanjian, maka hal ini dapat saja di kemudian hari advokat tersebut dengan mudah dilaporkan oleh kliennya dengan tujuan tertentu, sehingga posisi advokat dalam posisi lemah,” ucap Otto Hasibuan.
Kelima, penjelasan Pasal 282 RUU KUHP tersebut tidak sinkron dengan norma Pasal 282, karena Pasal 282 berisi tentang perbuatan curang tetapi penjelasannya mengenai suap.
Keenam, Peradi menyadari dalam praktik ada advokat yang berlaku curang terhadap kliennya dan perlu mendapatkan sanksi, tetapi tidak tepat dikenakan dengan Pasal 282 tersebut.
“Selama ini Dewan Kehormatan Peradi selalu bertindak tegas dan menjatuhkan sanksi kepada advokat bahkan ada yang dipecat karena berlaku curang. Jadi Kode Etik Advokat sudah mengaturnya,” tutur Otto Hasibuan.
Ketujuh, Peradi meminta Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan ketetentuan Pasal 282 tersebut dari isi KUHP.
(Eky)