Pertama, hak penduduk mengadakan perkumpulan dan rapat. Kedua, pelaksanaan hak itu adalah untuk kepentingan umum dan ada pembatasan melalui peraturan perundang-undangan. Nalenan dalam buku biografi Iskaq Tjokrohadisuryjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng (1982: 46) menulis bahwa dengan adanya kelonggaran berpolitik dan mengadakan rapat, rakyat Indonesia yang ketika itu sudah terorganisasi, berusaha menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Rapat umum dan pemogokan dilakukan berkali-kali sehingga memusingkan pemerintah Hindia Belanda.
Seperti ditulis Nalenan, Dirk Fock yang ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda berusaha menghadapi aksi-aksi pemogokan dan aksi politik para pejuang nasional menggunakan exorbitante rechten, yaitu mengambil tindakan-tindakan tegas melalui: tidak boleh tinggal di wilayah Indonesia (externering), tidak boleh tinggal di daerah tertentu dalam wilayah Indonesia (verbanning), dan menunjuk suatu daerah tertentu untuk dijadikan tempat tinggal (internering).
“Dengan hadirnya ketentuan perundangan yang begitu banyak, ditambah hak Gubernur Jenderal untuk mengadakan externering, internering, dan verbanding, maka lengkaplah sudah alasan dari Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan,” tulis R. Nalenan (1982: 46-47).
Dasar hukum rezim pemerintah kolonial Belanda waktu itu membuang para pemberontak 1926 ke Digoel (rimba terpencil di Papua) dimana ada hak istimewa dari gubenur jenderal yang namanya Exorbitante Rechten. Siapa saja yang ditunjuk oleh gubernur jenderal sebagai orang yang mengancam keamanan dan ketertiban, atau rust en orde, dari pemerintah Hindia Belanda, tidak boleh tinggal di Hindia Belanda atau ditunjukkan tempat di mana dia harus tinggal. Itu dasar hukumnya Digoel didirikan.
Sebelum Pemberontakan 1926 sudah ada beberapa tokoh yang dibuang. Samin Sorontiko, misalnya, dibuang ke Sumatera Barat tahun 1907. Lalu dr Tjipto, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dibuang ke Belanda tahun 1913. Haji Misbach dibuang ke Manokwari tahun 1924, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan lain-lain juga dibuang pada awal tahun 1920-an. Setelah pemberontakan 1926 itu ada begitu banyak orang yang dibuang ke suatu tempat yang sama. Dan ide membuang itu keluarnya begitu cepat.
Pemberontakan terjadi 12 November, tanggal 18 November sidang pertama Dewan Hindia, tanggal 19 November sidang kedua. Saat itu diputuskan untuk membuat kamp Digoel. Dengan begitu hanya seminggu setelah pemberontakan sudah diputuskan untuk membuat kamp Digoel.
Ide itu muncul dan dengan proses yang begitu cepat, patut untuk memperhetikan beberapa hal penting. Pertama, idenya sudah ada sebelum pemberontakan. Ide ini pertama kali diungkapkan Schrieke. Daialah yang megusulkan supaya ada tempat khusus didirikan sebagai tempat pembuangan.