Dan mengenai sampai kapan para sandera khususnya pelaut Indonesia dapat dibebaskan, menurut Sulaiman, “Sangat tergantung pendekatan dari pemerintah Indonesia. Yang menangkap harus dapat diyakinkan bahwa yang ditangkap itu bukan warga Arab Saudi.”
Sementara itu pendapat yang hampir senada mengenai penyanderaan awak kapal Rwabee juga datang dari Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa S.SiT., Pengamat Maritim yang juga salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI). Menurutnya terdapat risiko yang dihadapi para pelaut ketika melewati daerah konflik seperti perang antara Koalisi Arab Saudi dan Pemberontak Yaman ini. Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 yang dapat sedikit banyak menjelaskan situasi tersebut.
“Perang pemberontakan di Yaman sudah berlangsung selama 6 tahun. Artinya, setiap Pelaut WNI yang sign on di kapal-kapal negara-negara yang terlibat pertempuran di Yaman dan berlayar di area pertempuran atau konflik tersebut, tentunya memahami risiko yang akan dihadapi, bila kapalnya terlibat langsung dalam konflik tersebut. Bila berkaca kepada kita, apa yang dilakukan oleh para Pemberontak Houti di Yaman patut saya duga adalah bagian dari strategi perang mereka saat ini.
Kenyataan bahwa hanya kapal-kapal berbendera koalisi yang menjadi target para Pemberontak Houti di Yaman menjadi penguat dasar berfikir kita, bahwa apa yang dilakukan oleh Para Pemberontak Houti di Yaman adalah bagian dari startegi perang mereka. Kita harus berkaca bahwa Negara Indonesia pun memiliki Perpu No. 23. Tahun 1959 sebagai pengganti UU No. 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya dimana pasal 37 di Perpu tersebut menggambarkan bahwa pemerintah dalam situasi perang dapat mengambil langsung Kapal-Kapal niaga berbendera Indonesia dan dijadikan sebagai kapal perang Indonesia (Kapal untuk keperluan perang), ” tuturnya kepada media selasa (18/1/2022)