“Misalnya jika “bujur” dalam Bahasa Batak Karo itu disebut terima kasih, tapi dalam Bahasa Sunda bermakna lain, terkait dengan bokong. Itu tidak boleh disebut,” tuturnya.
Ketika berinteraksi di media sosial, terangnya, kita merasa hanya berdua. Padahal ramai, seluruh dunia tahu.
“Mohon dilihat dulu, dari kata-katanya, kemudian dari kebiasannya bertolak belakang atau tidak dengan kebiasaan orang-orang yang berbeda budaya, bangsa, suku. Kebanyakan kita suka lupa. Hal itu, yang perlu dijaga dan diperhatikan,” sebut Mazdadlifah yang juga Ketua Yayasan untuk Perempuan Kota Medan.
Dalam kesempatan itu, Ahmed Kurnia, Instruktur Sekolah Jurnalisme Indonesia PWI Pusat mengatakan, jika media tidak bisa menangkap problem yang ada di masyarakat, dia akan ditinggalkan.
“Ini tantangan buat kalangan pers, kalau tidak, akan digilas oleh netizen. Jadi, ini sebagai koreksi kepada teman-teman media, bahwa kalau anda tidak mampu menangkap denyut nadi persoalan yang ada di masyarakat akan ditinggal. Karena mereka tidak lagi akan membaca media dan beralih ke media sosial,” tutur Ahmed Kurnia.
Dikatakan Ahmed Kurnia, dalam penelitian terakhir menunjukkan bahwa sekarang orang sudah jenuh juga dengan media-media sosial yang konten-kontennya sehingga mereka mencari informasi yang penting itu kembali kepada pers.