Dia menyebutkan aturan mengenai wakaf ahli sejatinya telah tertuang dalamPasal 30 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Dalam PP tersebut, Sudirman menggarisbawahi, memiliki atensi seseorang yang mewakafkan harta bendanya untuk kesejahteraan keluarga/kerabat harus dicatat dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf. “Namun, jika keluarga penerima manfaat wakaf ahli sudah tidak ada maka status wakaf menjadi wakaf Khairi. Peruntukannya ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI),” tutur Sudirman.
Lebih lanjut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim ini menyebutkan untuk optimalisasi instrumen wakaf ahli bagi peningkatan ketahanan dan kualitas keluarga di Indonesia, harus dilakukan sejumlah langkah simultan. Dia menguraikan terdaopat tiga hal yang harus dilakukan untuk merekonstruksi wakah ahli agar lebih optimal. “Pertama, ketentuan hukum materiil dan formil dalam pengaturan wakah ahli, seperti syarat dan ketentuan wakaf ahli, pendayagunaan wakaf ahli, dan penyelesaian sengketa wakaf ahli harus dikonsolidasi dengan baik,” papar Sudirman.