Hal senada juga disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho. Penanganan terhadap petani kelapa sawit mandiri yang dijerat dengan sanksi pidana menurutnya bentuk dari “Tajam Kebawah Tumpul ke Investasi”.
la mencontohkan, Pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja menyebutkan: ‘Setiap Orang yang melakukan kegiatan Usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023.
“Pasal itu spesial untuk perusahaan yang menggarap kawasan hutan tapi tidak memiliki izin. Jadi ini yang biasa dengan istilah “Pemutihan”. Perusahaan dapat ampunan sedang warga biasa tidak mendapatkan itu” tegas Aryo.
Lahan areal perkebunan kelapa sawit tersebut, bermula dari adanya warga yang membeli tanah dengan Masyarakat pemilik tanah yg lokasi lahan berada di desa Semantun, Kabupaten Sukamara, untuk lahan perkebunan. Selain itu, MS sebagai pembeli lahan yang kini juga ditahan, menjalin kerjasama kemitraan dengan sejumlah warga dengan sistem bagi hasil ketika tanaman menghasilkan atau dapat dipanen.
Sejak adanya perkebunan kelapa sawit tersebut, masyarakat setempat juga sangat terbantu dengan adanya penambahan penghasilan, ekonomi keluarga dari kegiatan perkebunan. Bahkan bantuan infrastruktur jalan yg menghubungkan akses masyarakat di desa dibangun oleh pihak petani pengelola perkebunan kelapa sawit yang kini justru dihadapkan pada sanksi pidana.