Senada dengan arahan Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, penolakan terhadap Power Wheeling yang merupakan, sebuah konsep yang dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, penolakan juga digaungan DPD SP PLN Unit Induk Pembangunan Sumatera Bagian Utara (UIP SBU).
Ketua DPD SP PLN UIP SBU Lud Rudy Anggoro mengatakan, power wheeling yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) tersebut, sangat memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Apalagi Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
“Perlu kami ulangi, seperti apa yang dijelaskan Ketua Umum SP PT PLN (Persero) M Abrar Ali, Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya. Sedangkan Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya,” urai Lud dalam keterangan persnya di Medan, Selasa (24/9/24)
Kedua model ini, kata dia, menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema _open access_, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar Toll Fee.
Namun, lanjutnya, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Dikatakan Lud juga., ada beberapa dampak negatif dari Power Wheeling berdasarkan analisis dari berbagai perspektif, antara lain
Dampak Keuangan:
1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik:
Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan
permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.
2. Beban Keuangan Negara:
Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun.
Dampak Hukum:
1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022:
Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
2. Mereduksi Peran Negara:
Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
3. Potensi Sengketa:
Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
Dampak Teknis:
1. Memperparah Oversupply: